REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Assyifa Szami Ilman menilai, wacana menaikkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gula akan membawa dampak besar bagi industri. Salah satunya, berpotensi menambah biaya produksi usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
Ilman menjelaskan, rencana menaikkan HPP menjadi Rp 10.500 per kilogram berpotensi untuk mengerek HET naik ke level estimasi Rp 14.000 per kilogram. Angka ini terbilang tinggi dan kalau memang diimplementasikan, maka berpotensi mendorong naiknya biaya produksi industri makanan dan minuman yang dikelola oleh UMKM.
Ilman menambahkan, wacana ini dikhawatirkan akan memengaruhi kinerja industri makanan dan minuman yang dikelola oleh UMKM. Sebab, pada dasarnya mereka menggunakan gula kristal putih yang dijual di pasar sebagai salah satu bahan bakunya.
"Komoditas ini bisa dikatakan juga dikonsumsi secara langsung oleh konsumen secara umum," ujarnya dalam rilis yang diterima Republika, Senin (18/2).
Tidak hanya itu, adanya kenaikan harga gula nantinya akan berdampak pada daya beli masyarakat. Pasalnya, dampak yang dirasakan tidak hanya kenaikan gula untuk kebutuhan dapur, juga berasal dari naiknya jenis makanan dan minuman jadi yang diproduksi oleh UMKM tersebut.
Ilman mencatat, komoditas gula juga pernah tercatat menyumbang inflasi pada pertengahan tahun 2016. Saat itu, BPS menyampaikan bahwa gula berkontribusi pada inflasi di Mei 2016 sebesar 0.24 persen dan inflasi tahunan 2016 sebesar 3,33 persen (yoy).
Adanya HPP dan HET, lanjut Ilman, bertujuan untuk melindungi produsen dan konsumen. Namun dalam jangka panjang, kebijakan pricing ini tidak akan mendorong harga gula bergerak ke arah yang lebih terjangkau bagi konsumen.
"Maupun untuk mendorong kesejahteraan yang berkelanjutan bagi petani gula secara signifikan," tuturnya.
Dalam hal ini, Ilman menuturkan, petani gula akan mengalami margin profit yang tetap. Mereka hanya dapat menambah margin profitnya dengan mendorong biaya produksi menjadi lebih rendah.
Tidak menutup kemungkinan juga, ke depannya, HPP akan terus naik karena petani pun harus menyesuaikan margin profit dengan kebutuhan rumah tangga mereka.
Di sisi lain, pelaku industri makanan minuman yang menggunakan gula juga relatif tidak dapat secara mudah untuk mensubstitusikan gula dengan bahan baku pengganti lainnya. Ini dapat mengakibatkan adanya biaya produksi yang harus ditanggung baik oleh produsen UMKM maupun konsumen makanan dan minuman.
Ilman menyebutkan, oekerjaan rumah yang harus dituntaskan industri gula dan juga pemerintah adalah untuk meningkatkan produktivitas gula. Berdasarkan data BPS (2017) dan USDA (2017-2018), saat ini produktivitas tebu di Indonesia berada di kisaran 65,73 ton/ha. Angka ini relatif lebih rendah apabila dibandingkan dengan capaian Indonesia pada 2009/2010 yang mencapai 78,24 ton per ha.
Selain itu, mengacu pada sumber data serupa, tingkat rendemen gula Indonesia masih terbilang rendah yaitu sebesar 7,5 persen. Angka ini jauh dibawah Filipina yang sebesar 9,2 persen dan Thailand sebesar 10,7 persen.
Menurut Ilman, kedua fakta ini menandakan perlunya optimisasi kinerja pabrik gula domestik agar dapat bekerja lebih efisien untuk menghasilkan gula dalam biaya yang lebih rendah. "Untuk itu, pemerintah sebaiknya terus mendorong revitalisasi pabrik gula agar menjamin kesejahteraan petani dan keterjangkauan harga gula dalam jangka panjang," katanya.
Rencana mengkaji ulang HPP terhadap gula produksi petani disampaikan Presiden Joko Widodo saat bertemu dengan petani tebu pada awal Februari. Hasil kajian tersebut akan diputuskan dalam sepekan. Tapi, sampai kemarin, Jokowi menyatakan bahwa pemerintah masih membahas usulan tersebut dalam rapat terbatas (ratas).