REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu) menyampaikan update mengenai realisasi penagihan terhadap para pengemplang pajak yang berjumlah 201 Wajib Pajak (WP). Dari target sekitar Rp50—Rp60 triliun, saat ini Kemenkeu sudah mengantongi hampir Rp11,5 triliun.
“Overview tindak lanjut 201 WP penunggak pajak terbesar, terdapat 104 WP telah melakukan pembayaran dan atau angsuran dengan realisasi yang berhasil dicairkan sebesar Rp11,48 triliun. Ini angka sampai 19 atau 20 November 2025,” ungkap Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu, Bimo Wijayanto, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi XI di Kompleks DPR RI, Jakarta, Senin (24/11/2025).
Bimo mengatakan, pihaknya terus melakukan percepatan penagihan pajak dari ratusan pengemplang pajak terbesar tersebut agar bisa mencapai target. Terdapat tiga hal yang dilakukan oleh DJP dalam hal itu.
Pertama, tindakan penagihan aktif terhadap WP maupun penanggung pajak. Kedua, bersinergi dan bekerja sama dengan instansi terkait (UE, I Kemenkeu, LJK, APH). “Ketiga, berkoordinasi dengan Jamdatun dan Badan Pemulihan Aset (BPA) terhadap WP yang bersinggungan dengan permasalahan hukum,” ujarnya.
Langkah menyasar sekitar 200 penunggak pajak besar diungkap oleh Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, dalam konferensi pers APBN KiTa, Senin (22/9/2025). Ia mengungkapkan total tagihannya mencapai sekitar Rp50—Rp60 triliun.
“Kita punya daftar 200 penunggak pajak besar yang sudah inkrah. Kita mau kejar dan eksekusi. Dalam waktu dekat akan kita tagih dan mereka tidak akan bisa lari,” ujarnya.
Sekitar dua bulan kemudian, tepatnya pada 14 November 2025 dalam Media Briefing, Purbaya mengungkapkan telah mengantongi sebanyak Rp8 triliun dari target Rp50—Rp60 triliun. Dan kini telah hampir menyentuh Rp11,48 triliun.
Data Kemenkeu mencatat, realisasi penerimaan pajak secara neto sepanjang Januari—Oktober 2025 mencapai Rp1.459 triliun, atau 70,2 persen dari target sebesar Rp2.076,9 triliun. Capaian tersebut turun 3,8 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu sebesar Rp1.517,5 triliun.
Pelemahan penerimaan tersebut mendorong defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga 31 Oktober 2025 melebar menjadi Rp479,7 triliun, atau 2,02 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Defisit tersebut meningkat dari September yang tercatat Rp371,5 triliun atau 1,65 persen terhadap PDB.
Defisit tersebut juga lebih dalam dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang sebesar Rp309,1 triliun atau 1,4 persen terhadap PDB. Kondisi itu terjadi karena pendapatan negara belum cukup menahan laju belanja pemerintah sepanjang tahun berjalan.
Pendapatan negara hingga Oktober 2025 mencapai Rp 2.113,3 triliun atau 73,7 persen dari outlook. Sementara itu, belanja negara tercatat Rp 2.593 triliun atau 73,5 persen dari target, dengan belanja pemerintah pusat mencapai Rp 1.879,6 triliun atau 70,6 persen.