REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman menyebut dugaan perencanaan impor ilegal sebagai bagian paling krusial dari kasus masuknya 250 ton beras dari Thailand melalui Sabang, Aceh. Ia menggarisbawahi temuan risalah rapat koordinasi pada 14 November yang menolak permohonan impor, namun izin dari negara asal justru terbit lebih dulu.
Amran menilai rangkaian ini menunjukkan pola yang tidak wajar dan terstruktur. Pemerintah, kata dia, bergerak setelah laporan masuk pada Ahad (23/11/2025) siang sekitar pukul 14.00 WIB. Penelusuran awal mengarah pada salah satu perusahaan di Sabang yang diduga memasukkan beras tanpa dasar persetujuan pusat. Aparat kemudian memverifikasi data perizinan dan memastikan tidak ada dokumen resmi dari pemerintah Indonesia. Dari hasil verifikasi tersebut, seluruh kegiatan distribusi dihentikan dan gudang penyimpanan disegel.
"Rapatnya tanggal 14 di Jakarta, tetapi izinnya dari Thailand sudah keluar. Berarti ini sudah direncanakan," kata Amran di Jakarta, Senin (24/11/2025).
Ia menilai alur perizinan yang tumpang tindih menjadi titik awal investigasi. Perbedaan waktu antara keputusan penolakan impor di tingkat pusat dan keluarnya izin di negara asal diposisikan sebagai bukti adanya inisiatif sepihak yang berpotensi memanipulasi prosedur. Mentan berkoordinasi dengan aparat menelusuri pihak-pihak terkait untuk memastikan rangkaian tindakan yang terjadi sebelum barang memasuki pelabuhan.
Instruksi Presiden Prabowo Subianto mengenai larangan impor menjadi dasar langkah cepat ini. Pemerintah mengacu pada kondisi stok yang kuat, baik di tingkat nasional maupun daerah. Produksi beras nasional tahun berjalan diperkirakan mencapai 34,7 juta ton, angka tertinggi sejak 2019. Stok Bulog mencapai 3,8 juta ton yang tercatat sebagai capaian tertinggi. Proyeksi hingga awal 2026 menunjukkan carry over dapat mencapai 12,89 juta ton dari akumulasi stok di berbagai lini termasuk Cadangan Beras Pemerintah.
"Kami tegaskan stok beras cukup, bahkan lebih dari cukup. Kita berada pada posisi tertinggi," ujar Amran.
Data neraca pangan di Provinsi Aceh menambah penegasan pemerintah. Aceh tercatat surplus 871,4 ribu ton dengan ketersediaan 1,53 juta ton dan kebutuhan 667,7 ribu ton. Sabang juga berada dalam kondisi surplus 970 ton dengan ketersediaan 5.911 ton dan kebutuhan 4.940 ton. Pemerintah menilai kondisi tersebut memperkuat argumentasi bahwa beras ilegal tidak memiliki justifikasi kebutuhan.
"Jadi tidak ada alasan untuk impor. Ini menyangkut kehormatan bangsa," tutur Amran.
Mentan menempatkan kasus Sabang sebagai peringatan penting atas risiko penyelundupan yang dapat mengganggu stabilitas pangan. Tindakan memasukkan beras tanpa dasar persetujuan pusat dinilai merugikan petani dan mengganggu momentum menuju swasembada. Pemerintah juga mendalami laporan awal terkait indikasi pergerakan serupa di Batam dan telah menugaskan aparat untuk memverifikasi temuan tersebut.
Penyelidikan akan dilanjutkan hingga seluruh rantai pergerakan barang dan aktor yang terlibat teridentifikasi. Pemerintah menegaskan komitmen untuk menjaga jalur distribusi tetap bersih dari praktik ilegal, termasuk pada hari libur ketika kasus ini diambil alih dan ditangani dalam waktu singkat.