Senin 17 Nov 2025 18:57 WIB

Soal Gugatan pada Tempo, Pengamat: Isu Pembungkaman Media tidak Terbukti

PN Jaksel menyatakan tidak berwenang mengadili gugatan Kementan terhadap Tempo.

Ilustrasi sawah petani.
Foto: Republika/Bowo Pribadi
Ilustrasi sawah petani.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pengamat pangan Debi Syahputra menilai Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 684/Pdt.G/2025/PN Jkt.Sel yang menyatakan pengadilan tidak berwenang mengadili gugatan Kementerian Pertanian (Kementan) terhadap Tempo membuka dua fakta besar.

Pertama, tuduhan bahwa Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman sedang melakukan pembungkaman pers tidak terbukti sama sekali. Kedua, substansi kerugian petani akibat narasi 'beras busuk' justru tidak tersentuh dan belum diuji di proses hukum mana pun.

Menggugat Tempo: Upaya Kementan Jaga Kemerdekaan Pers yang Profesional

“Kalau eksepsi Tempo dikabulkan, berarti tidak ada tekanan dari kekuasaan,” kata Debi melalui siaran pers, Senin (17/11/2025).

Menurut Debi, keputusan pengadilan untuk mengabulkan eksepsi Tempo menunjukkan bahwa narasi soal intervensi kekuasaan terhadap media tidak berdasar.

“Fakta paling sederhana adalah ini Tempo meminta pengadilan menyatakan tidak berwenang, dan pengadilan mengabulkannya. Kalau betul ada tekanan kekuasaan atau pembungkaman pers, mustahil eksepsi mereka diterima begitu saja.

Jadi isu pembungkaman itu hanya opini, bukan fakta,” kata Debi.

Debi menilai publik perlu memahami bahwa putusan PN Jaksel hanya terkait kewenangan pengadilan, bukan materi pokok perkara.

“Ketika pengadilan menyatakan tidak berwenang, artinya tidak satu pun argumen tentang kerugian petani diperiksa. Padahal narasi ‘beras busuk’ yang disebarkan ke publik sudah menimbulkan stigma nasional terhadap petani. Ini merusak martabat dan harga diri mereka,” kata dia.

Menurut Debi, dampak sosial dari pemberitaan tersebut nyata mulai dari petani kesulitan menjual gabah, sampai turunnya kepercayaan konsumen terhadap beras lokal. Debi menjelaskan langkah Kementan menggugat Tempo adalah tindakan yang sah dan konstitusional.

“Kementan itu institusi negara yang memikul amanat pangan. Ketika petani dirugikan oleh stigmatisasi nasional, wajar jika negara melakukan pembelaan hukum. Itu bukan pembungkaman pers, itu bentuk perlindungan terhadap warga,” katanya.

Menurut Debi, putusan PN Jaksel bukan akhir dari perjuangan hukum, melainkan penanda bahwa perkara ini harus dilanjutkan di forum yang tepat.

“Kementan masih punya ruang langkah hukum lain. Yang penting adalah memastikan bahwa kerugian petani, yang selama ini hanya menjadi korban pemberitaan akhirnya diperiksa dalam proses hukum yang objektif,” ujar Debi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement