Ahad 02 Apr 2017 07:16 WIB

OJK: Kasus Penipuan Bank 90 Persen Dibantu Orang dalam

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Nur Aini
Penipuan (ilustrasi).
Foto: calvarychapelabuse.com
Penipuan (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,BOGOR -- Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sekitar 90 persen kasus serupa yang pernah terjadi memiliki modus operandi yang sama yakni melibatkan orang dalam bank. Sebelumnya terjadi kasus penipuan (fraud) keuangan yang merugikan nasabah bank pelat merah Bank Tabungan Negara (BTN).

Direktur Pengawasan Bank 2 OJK Anung Herlianto mengatakan, orang dalam pada perbankan memiliki peran penting untuk mengetahui celah dalam sistem sehingga memungkinkan dilakukan pembobolan.

"Kasus pembobolan bank itu sekitar 90 persen melibatkan orang dalam atau nasabahnya," ujar Anung dalam pelatihan wartawan industri perbankan, Industri Keuangan Nonbank dan lembaga pembiayaan di Bogor, akhir pekan lalu.

Selain itu, kebanyakan kasus penipuan tersebut juga didukung oleh kurang pedulinya para nasabah dalam mengelola dana yang didepositokan dan terlalu percaya dengan pihak perbankan. Kelemahan ini diperparah oleh malasnya para nasabah datang langsung ke bank untuk melakukan berbagai administrasi seharusnya. Padahal, pegawai bank dinilainya tidak sepenuhnya dapat dipercaya dan bisa melakukan tindakan penipuan apabila mendapatkan kesempatan dan alasan.

Berdasarkan survei dari Asia Anti Fraud Foundation, kata Anung, sebanyak 70 persen orang yang bekerja di sektor keuangan pada dasarnya memiliki sifat tidak jujur. Survei itu juga menyebutkan, sebanyak 50 persen akan merealisasikan penggelapan dana apabila ada fraud triangle yakni kesempatan, kebutuhan, dan pembenaran (alasan) atas apa yang dilakukannya. Sedangkan 25 persen orang dalam survei disebutkan memiliki nyali untuk melakukan penipuan apabila ada kesempatan langsung.

"Misalnya, seorang teller yang bekerja jujur selama 10 tahun. Lalu anaknya sakit di rumah dan kurang biaya. Ia memutuskan untuk mengambil uang sedikit hanya Rp 100 ribu. Ia merasa memiliki pembenaran karena apa yang dilakukan olehnya memiliki alasan," ujarnya.

Menurut Anung, adanya kerja sama yang kompak (teamwork) memang sangat dibutuhkan dalam bekerja. Namun, prinsip awal di bank harus tetap dilakukan yakni semua harus tidak saling percaya dan waspada akan munculnya keinginan melakukan penipuan. Apabila masing-masing terlalu percaya dan lengah, maka akan menimbulkan kontrol internal yang kurang baik dan bisa menyebabkan mudahnya terjadi kecurangan.

Dengan demikian, ia menilai pembenahan pengawasan internal sangat dibutuhkan agar kasus penipuan dalam sektor perbankan makin berkurang dan tidak ada lagi nasabah yang dirugikan. Namun, Anung mengakui tindakan pelanggaran hukum seperti yang terjadi dalam kasus BTN masih bisa terjadi, meskipun regulasi pengawasan sudah memadai. Sebab, hal itu juga tergantung dari kualitas sumber daya manusia.

"Karena human detect seperti ini tidak bisa diawasi oleh OJK, untuk itu harus ada mitigasi risiko untuk internal control. Kita akan perkuat kontrol internal di seluruh bank," kata Anung.

Sebelumnya terjadi kasus pemalsuan bilyet deposito yang dilakukan oknum PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) dan saat ini masih menjalani proses hukum. Meski begitu, perseroan menyatakan sudah mengembalikan uang sejumlah nasabah yang hilang sebesar Rp 140 miliar. Total dana hilang akibat pemalsuan itu mencapai Rp 258 miliar.

Kasus pemalsuan bilyet deposito terungkap dari laporan pada 16 November 2016  terkait kegagalan pencairan deposito sebelum jangka waktu. Terkait laporan itu, BTN melakukan verifikasi dan investigasi. Dari sana, perseroan menemukan bilyet deposito palsu yang ditawarkan sindikat oknum yang mengaku sebagai karyawan pemasaran Bank BTN.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement