REPUBLIKA.CO.ID, BANDAR LAMPUNG -- Pererekonomian di Provinsi Lampung mengalami pertumbuhan sebesar 5,15 persen pada t2016, naik sedikit dibandingkan 2015 sebesar 5,13 persen. Harga singkong (ubi kayu) yang mencapai titik nadir memengaruhi pertumbuhan ekonomi di provinsi ujung selatan Pulau Sumatra tersebut.
“Salah satu pengaruh negatif pertumbuhan ekonomi di Lampung, harga singkong yang anjlok, sehingga menimbulkan kerugian di petani sebesar Rp 3,75 triliun,” kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Lampung, Yeane Irmaningrum di Bandar Lampung, Senin (6/2).
Menurut dia, ada beberapa hal yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi di Lampung pada tahun lalu. Diantaranya, curah hujan dan gelombang laut tinggi, pemotongan anggaran dari pemerintah pusat, penyaluran kredit pembiayaan yang melambat, dan anjloknya harga singkong di tingkat petani.
Ia mengatakan harga singkong di sentra perkebunan singkong di Lampung mengalami masa krisis. Produksi singkong petani yang melimpah tidak dibarengi dengan harga yang diinginkan. Harga singkong di tingkat petani sebelumnya RP 1.200 per kg, jatuh hingga Rp 350 per kg.
BPS mencatat pertumbuhan ekonomi Lampung berada di atas nasional 5,02 persen, dan berada di peringkat keempat se Sumatra, setelah Bengkulu, Sumatra Barat, dan Sumatra Utara. Sedangkan pertumbuhan ekonomi Sumatra Selatan dan Kepulauan Riau berada di bawah Lampung masing-masing 5,03 persen.
Yeane mengatakan dari sisi produksi, pertumbuhan tertinggi dicapailapangan usaha, pengadaan listrik dan gas, dan informasi dan komunikasi masing-masing sebesar 22,49 persen dan 10,63 persen. Dari sisi pengeluaran, pertumbuhan tertinggi dicapai komponen pembentukan modal tetap bruto sbesar 8,61 persen, diikuti pengeluaran konsumsi rumah tangga 5,72 persen, dan pengeluaran konsumsi lembaga nonprofit melayani rumah tangga sebesar 5,56 persen.