REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah optimistis tak ada efek langsung yang akan dirasakan Indonesia setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memutuskan mundur dari keikutsertaannya dalam Tran-Pacific Partnership (TPP). Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menilai, sejak awal Indonesia belum memastikan keikutsertaannya ke dalam perjanjian dagang Trans-Pasifik ini.
Artinya, langkah AS untuk mundur dari TPP tak akan berikan efek kepada Indonesia. Beda ceritanya kalau Indonesia sudah secara tegas menyatakan akan bergabung ke dalam TPP. "Kita kan belum anggota TPP. Dari dulu juga Indonesia cuma bilang kita bermaksud. Kalau TPP jadi ya kita kemudian bilang, kita lagi studi. Ya nggak jadi, ya sudah," kata Darmin di kantornya, Jakarta, Selasa (24/1).
Darmin menambahkan, Indonesia juga baru sebatas studi atau kajian untuk menilai baik dan buruknya bagi Indonesia bila ikut serta dalam TPP. Meski begitu, ia menyebutkan belum ada persiapan secara serius yang dilakukan Indonesia untuk bergabung bersama Australia dan negara TPP lainnya. "Kita belum pernah membuat persiapan untuk itu jadi kita nggak perlu, bahkan dalam beberapa hal, barangkali Singapura dan Vietnam yang paling jauh persiapannya," katanya.
Peneliti senior Indef Eko Listianto menilai, Indonesia harus berpikir ulang untuk bergabung ke dalam TPP. Apalagi, mundurnya AS dan ajakan Australia kepada Cina untuk bergabung akan membuat perang dagang antara timur dan barat semakin ketat. TPP yang tadinya dibentuk untuk mengimbangi dominasi perdagangan Cina, justru akan membentuk aliansi dagang raksasa oleh Cina untuk melawan AS.
Eko melihat, kondisi ini akan membuat Indonesia menjadi pasar yang potensial bagi perdagangan Cina. Semakin tertutupnya AS atas produk Cina diyakini akan membuat Cina mencari pasar-pasar baru sebagai sasaran ekspor mereka. Eko menilai Indonesia bisa menjadi sasaran empuk bagi Cina untuk mengatasi proteksionisme AS.
"Kalau melihat perkembangan kita saat ini, kita akan lebih banyak jadi pasar saja. Karena apa sih keunggulan kita di TPP. Namun kalau MEA yang kecil saja masih banyak lostnya (ruginya), apalagi yang lebih luas," ujar Eko.
Menurutnya, Indonesia lebih baik memaksimalkan potensinya di tingkat regional sebelum bergerak ke dalam persaingan level global. Ia khawatir bila dalam kondisi industri dalam negeri yang belum siap menjadi pemain utama di pasar internasional, justru Indonesia akan menjadi pasar dan menekan industri yang sudah eksisting.
"Indonesia rentan di produk-produk konsumsi, terutama ritel. Tanpa AS naikkan tarif pajak impor pun, Cina sudah menyasar Indonesia kan? Apalagi kalau AS terapkan proteksionismenya," katanya.
Baca juga: Trump Tarik Keanggotaan dari TPP, Cina Bisa Rebut Dominasi AS?