Ahad 29 Jan 2017 18:11 WIB

TPP Batal, Indonesia Bidik Kerja Sama Dagang ASEAN+6 dan Eropa

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nur Aini
Presiden Joko Widodo (kanan) bergandengan tangan bersama pimpinan negara-negara ASEAN saat pembukaan Asean Summit ke-28 dan 29 serta Related Summit di National Convention Center, Vientiane, Laos, Selasa (6/9).
Foto: Antara/ Akbar Nugroho Gumay
Presiden Joko Widodo (kanan) bergandengan tangan bersama pimpinan negara-negara ASEAN saat pembukaan Asean Summit ke-28 dan 29 serta Related Summit di National Convention Center, Vientiane, Laos, Selasa (6/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mundurnya Amerika Serikat (AS) dari kerja sama dagang Trans-Pacific (TPP) membuat Indonesia berpikir ulang untuk bergabung ke dalamnya. Semula TPP dibentuk AS untuk bisa mengimbangi besarnya pengaruh Cina dalam perdagangan dunia. Mundurnya AS dari TPP kini justru membuat Indonesia membidik kerja sama di level regional dan Eropa.

Deputi Koordinasi Bidang Kerja Sama Ekonomi Internasional Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Rizal Affandi Lukman menilai bahwa kerja sama di level regional melalui Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) antara negara di ASEAN ditambah dengan enam negara mitra dagang lebih memiliki prospek positif dibanding TPP.

Rizal menjelaskan, dilihat dari segi nilai ekonomi, nilai perdagangan, dan jumlah penduduk, maka RCEP yang juga melibatkan Cina, Jepang, Korea Selatan, India, Selandia Baru, dan Australia memiliki potensi yang tak kalah dibanding TPP.

"Jadi kalau TPP tidak ada maka RCEP dan EU-CEPA menjadi semakin penting dan menjadi wahana untuk memberikan bahwa ini bisa menjadi pakta perdagangan yang lumayan besar," ujar Rizal, Ahad (29/1).

Selain itu, terbukanya kerja sama dagang antara Indonesia dengan negara-negara dalam RCEP dan EU-CEPA dianggap akan menaikkan nilai tawar Indonesia di mata pasar dunia. Ia meyakini investor akan lebih tertarik untuk membangun industrinya di Indonesia bila Indonesia menjalin kerja sama dagang dengan Eropa dan negara-negara seperti Australia, Jepang, dan Cina.

"Manfaat bagi Indonesia akan besar karena orang melihat bahwa Indonesia sudah ada CEPA dengan EU sedangkan Indoensia negara besar di ASEAN jadi ya sudah produksinya (industri) di Indonesia saja lah. Kan produknya bisa masuk pasar Eropa dan ASEAN," kata Rizal.

Sementara itu, Indonesia for Global Justice mendesak pemerintah Indonesia untuk melakukan moratorium terhadap Indonesia-EU CEPA (IEU CEPA). Alasannya, pemerintah belum pernah melakukan analisis dampak terkait dengan Hak Asasi Manusia (HAM) dan lingkungan dari kerjasama yang akan dibangun tersebut. Konsep kemitraan CEPA yang diusulkan saat ini disebutkan melingkupi sejumlah langkah menuju liberalisasi dan deregulasi. IGJ melihat bahwa langkah kerja sama ini justru berpotensi menimbulkan kerugian yang serius terhadap masyarakat, individu, dan lingkungan.

Direktur Eksekutif IGJ, Rachmi Hertanti, menyatakan bahwa selama ini seluruh perundingan perdagangan bebas selalu bersifat rahasia dan tertutup untuk publik. Menurutnya, tidak ada dokumen yang bisa diakses oleh publik, bahkan proses persetujuan oleh DPR pun jauh dari pantauan publik. Sementara itu, tiba-tiba perjanjian perdagangan bebas sudah mengikat dan berlaku bagi Indonesia.

"Perundingan CEPA harus dimoratorium untuk membuka kesempatan kepada publik agar dapat mengkritisi kerjasama yang akan dibangun antara Indonesia dengan Uni Eropa. Harus dipastikan bahwa perjanjian tidak bertentangan dengan konstitusi," katanya melalui siaran pers.

Rachmi juga memandang bahwa keluarnya Amerika Serikat (AS) dari keanggotaan Trans-Pacific Partnership Agreement (TPP) tentu akan mempengaruhi peta perdagangan global. Walaupun ada beberapa upaya dari Australia dan Jepang untuk tetap melanjutkan TPP tanpa AS, tentu TPP tidak akan menarik tanpa AS. "Bila TPP tetap dilanjutkan, tentu ekspektasinya akan berbeda dibandingkan RCEP. Dari jumlah pasar maupun GDP, TPP 12 minus 1 akan kalah dari RCEP," kata Rachmi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement