Senin 03 Oct 2016 06:45 WIB

Persoalan Non-Tarif Masih Hambat Ekspor Produk Mamin Indonesia

Rep: Debbie Sutrisno/ Red: Nidia Zuraya
Kapal Kargo pengangkut kontainer komiditi ekspor (ilustrasi)
Foto: sustainabilityninja.com
Kapal Kargo pengangkut kontainer komiditi ekspor (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pertumbuhan industri makanan dan minuman (mamin) untuk pangsa ekspor bukan hanya terganjal persaingan harga yang belum seluruhnya kompetitif. Permasalahan non-tarif juga membuat ekspor produk mamin Indonesia terkendala.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) Adhi Lukman mengatakan, tahun ini terdapat sejumlah negara yang melakukan perubahan aturan produk mamin untuk masuk ke negara tersebut. Hal ini jelas berdampak pada pertumbuhan nilai ekspor mamin atas devisa negara.

"Hambatannya sekarang bukan di kita saja, tapi di negara tujuan juga mulai diperketat peraturannya," kata Adhi, Ahad (2/10).

Adhi menjelaskan, sedikitnya terdapat empat negara tujuan ekspor produk mamin yang membuat peraturan baru seperti Cina, Korea Selatan, Kanada dan Australia. Cina, jelasnya, melakukan perubahan regulasi mengenai bahan baku produk mamin. Sedangkan Australia dan Kanada mengubah regulasi mengenai label. Korea Selatan juga memberikan perubahan regulasi mengenai label ditambah aturan residu pestisida yang diperketat.

Februari 2016, terdapat dua perusahaan Indonesia yang mulai melakukan penarikan produk dari Cina karena aturan perubahan bahan baku. Hingga saat ini kedua perusahaan yang lebih banyak memproduksi biskuit dan permen tersebut belum melakukan ekspor kembali ke Cina karena perubahan baku produk membutuhkan waktu.

Menurut Adhi, dengan perubahan ini maka akan butuh waktu panjang hingga produk yang dijual bisa masuk kembali ke negara lain. Sebab untuk melakukan perubahan label atau bahan baku, harus melewati proses panjang hingga mendapatkan persetujuan.

"Kita harus ubah label atau bahan baku misalnya, kemudian kalo sudah dirubah kan harus dites dulu oleh negara tujuan. Kalau belum pas, maka ubah lagi hingga benar-benar bisa diterima. Ini kan waktunya nggak sedikit," ujar Adhi.

Bukan hanya persoalan peraturan baru yang menghambat kinerja ekspor industri mamin, namun izin awal dari negara-negara tujuan pun kerap merepotkan industri. Misalnya di Myanmar dan Filipina, industri mamin lokal membutuhkan waktu hingga setahun sekedar meminta izin agar produk mamin dari Indonesia bisa beredar di pasaran negara tersebut.

Dengan berbagai kesulitan yang didapat, industri mamin nasional saat ini masih mengalami stagnasi dalam hal ekspor. Per Juli 2016, nilai ekspor mamin baru mencapai 3,3 miliar dolar AS. Nilai ini tidak berbeda jauh dengan pendapatan pada 2015.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement