REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat mayoritas bahan baku yang digunakan industri makanan dan minuman (mamin) dalam negeri masih ditopang bahan baku impor. Kegiatan hilirisasi industri mamin kian menggeliat namun kemampuan produksi komoditas justru mengalami penurunan.
Direktur Jenderal Industri Agro, Kemenperin, Putu Juli Ardika, mengatakan, sekitar 60-65 persen bahan baku yang digunakan industri mamin baik skala besar maupun kecil dan menengah didatangkan dari sejumlah negara.
Juli menilai, itu sekaligus mencerminkan sektor hulu di dalam negeri masih memiliki peluang besar mengisi kebutuhan industri.
"Dari sisi on farm, suplai bahan baku ini perlu kita dorong dalam bentuk korporasi (petani) karena pertanian karena masih sangat kecil sekali," kata Putu dalam webinar yang digelar Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Rabu (15/2/2023).
Kemenperin mencatat, dari total seluruh industri mamin di Indonesia, hanya sekitar 0,99 persen industri berskala besar namun menghasilkan 80 persen produk olahan mamin domestik. Sementara, 99,1 persen industri yang masih dalam skala IKM baru mampu memenuhi 20 persen produk domestik.
Putu menjelaskan, pemerintah punya pekerjaan beras untuk memberdayakan IKM yang mayoritas agar dapat terus meningkatkan porsi dalam produksi produk mamin olahan di dalam negeri. Salah satunya, melalui peningkatan suplai bahan baku dari lokal.
Ia pun mencontohkan seperti kebutuhan susu yang mayoritas saat ini disumbang dari impor hingga 78 persen dan lokal 22 persen. Setelah adanya wabah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) produksi lokal bahkan turun dan hanya mampu memenuhi sekitar 18 persen kebutuhan.
"Padahal, kalau kita lihat belanja susu untuk salah satu perusahaan itu sekitar Rp 1,6 triliun. Jadi luar biasa dampaknya kalau kita kembangkan karena pasarnya sangat terbuka," katanya.
Contoh lain seperti bahan baku tepung terigu yang 100 persen diimpor berupa gandum. Putu mengatakan, pemerintah masih terus berupaya mengembangkan potensi lokal seperti tepung sagu, mokaf, hingga sorgum untuk bisa menjadi substitusi.
Begitu pula dengan coklat, dimana industri hilir terus tumbuh namun produksi kakao justru turun dari sebelumnya 600 ribu ton per tahun hanya tersisa 200 ribu ton per tahun. Alhasil, industri pengolahan coklat mengimpor bahan baku.
Selain susu dan tepung terigu, Ketua Bagian Kebijakan Publik Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gappmi) Rachmat Hidayat, masih banyak bahan baku pangan yang bisa diproduksi di Indonesia namun terpaksa harus diimpor.
Ia mencatat sekitar 50 persen kebutuhan jagung industri diimpor, lalu 70 persen kedelai diimpor serta 60 persen kebutuhan garam industri juga dimpor.
Selain itu ada konsentrat buah-buahan untuk industri jus yang juga harus diimpor sekitar 70 persen dari total kebutuhan. "Konsentrat jambu biji kita harus impor," katanya.
Rahmat mengatakan, Kemenperin cukup berhasil dalam mendorong hilirisasi industri. Namun sayangnya kebutuhan industri itu tidak didukung oleh produksi di hulu bahkan mengalami penurunan. Itu salah satunya terjadi pada industri pengolahan coklat.
"Industrialisasi kakao mungkin 100 persen lebih meningkat 10 tahun terakhir, tapi kapasitas produksi kakao dalam negeri turun 60 persen. Jadi intinya ini harus didukung oleh hulu pertanian, perkebunan, dan peternakan," ujar dia.