REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Universitas Airlangga (Unair) Prof Rahma Gafmi menilai, target pertumbuhan ekonomi 8 persen pada era Presiden RI Prabowo Subianto sangat tidak realistis selama ekonomi bayangan (underground economy) masih kuat. Dia menyoroti korupsi, ekspor-impor ilegal, narkoba, serta judi daring yang dinilainya belum tersentuh serius penegak hukum.
"Yakin berhasil underground economy dibereskan, saya melihat dengan model-model yang dilakukan semua hanya sebuah ilusi," kata Rahma kepada Republika di Jakarta, Ahad (16/11/2025).
Dia menyampaikan, ambisi menjadikan penertiban ekonomi bayangan sebagai sumber tambahan pertumbuhan justru berpotensi menipu harapan publik. Menurut Rahma, selama korupsi dan underground economy dibiarkan, sangat sulit mengandalkan sumber ini sebagai pendorong tambahan pertumbuhan.
Dia menyebut, akar persoalan underground economy ada pada penegakan hukum yang lemah dan konflik kepentingan di tubuh aparat. "Menurut hemat saya sangat tidak realistis, tidak mudah underground economy itu diselesaikan, misalnya korupsi, UU perampasan aset saja belum disahkan sampai sekarang," ujar Rahma.
Dia menjelaskan, tanpa instrumen hukum yang kuat, pelaku ekonomi bayangan akan terus leluasa memanfaatkan celah. Rahma mengatakan, premanisme dan praktik ilegal lain justru mendapatkan ruang karena ada pelindung dari oknum aparat. Kondisi itu membuat ekonomi bayangan terus tumbuh dan merusak basis penerimaan negara.
"Merajalelanya premanisme yang mendapat perlindungan dari aparat, ekspor-impor ilegal sampai sekarang bermasalah karena juga ada oknum-oknum Polri, TNI Laut yang bermain," ucap Rahma.
Selain itu, kata dia, situasi tersebut membuat kebocoran di sektor penerimaan negara sulit ditutup. Rahma pun meragukan reformasi institusional bisa dilakukan secara independen jika masih ditangani orang-orang dari lingkaran yang sama.
Dia menerangkan, tanpa pembenahan serius di sektor keamanan dan hukum, janji membasmi ekonomi bayangan hanya akan berakhir di tataran slogan. "Mungkin salah satu dilakukan reformasi Polri, Presiden ingin mengejar itu, tapi saya lihat anggotanya masih orang-orang Polri juga sehingga ibarat jeruk makan jeruk, alias tidak independen," kata Rahma.
Tidak hanya itu, Rahma juga menyoroti orientasi kebijakan pemerintahan Prabowo yang lebih mengedepankan program politik ketimbang penguatan fondasi ekonomi. Dia menyoroti, deretan program jumbo belum diiringi strategi jelas untuk mengatasi persoalan struktural seperti ekonomi bayangan dan ketimpangan kerja.
"Terbukti, Presiden Prabowo masih mendahulukan program-program politik daripada program-program ekonomi, seperti MBG, 80 ribu KMP Merah Putih, 3 juta rumah rakyat, dan Sekolah Rakyat," kata Rahma.