REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Universitas Airlangga (Unair) Prof Rahma Gafmi mengkritik skema pembiayaan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (Kopdes Merah Putih) yang menjadikan dana desa sebagai penyangga utama program. Ia menilai rencana pinjaman Rp 240 triliun untuk membiayai 80 ribu koperasi menyimpan risiko besar bagi desa maupun perekonomian nasional.
Rahma menyebut kekhawatirannya semakin menguat setelah pemerintah membuka skema pendanaan tersebut. Menurut dia, penarikan dana Rp 200 triliun dari Bank Indonesia untuk mendukung program Kopdes Merah Putih berpotensi menjadi beban fiskal yang signifikan karena jaminannya berasal dari dana desa yang bersumber dari APBN.
“Pinjaman yang akan diberikan Rp 240 triliun untuk 80 ribu koperasi. Kekhawatiran saya terbukti, dana yang ditarik dari BI Rp 200 triliun memang arahnya untuk program ini. Ini jelas berpotensi menjadi bencana karena jaminannya dana desa,” ujar Rahma kepada Republika, Ahad (16/11/2025).
Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 17 Tahun 2025 tentang percepatan pembangunan fisik gerai dan pergudangan Kopdes Merah Putih menugaskan kementerian serta pemda mempercepat pembangunan fasilitas tersebut. Dalam beleid itu, Menteri Keuangan diarahkan memberi fasilitasi penganggaran, menyalurkan Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, atau Dana Desa untuk pembayaran kewajiban program, serta menempatkan dana di bank milik negara guna mendukung penugasan PT Agrinas Pangan Nusantara (Persero) selama enam tahun.
Pada Jumat (14/11/2025), Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengungkapkan secara terbuka rencana pemotongan dana desa untuk membayar pembiayaan Kopdes Merah Putih. Ia menjelaskan mekanisme cicilan yang akan diberlakukan selama enam tahun.
“Dana desa memang direvisi aturannya, tetapi pembagiannya 60–40. Sekitar 40 persen untuk mencicil Koperasi Merah Putih enam tahun ke depan,” ujar Purbaya di Kantor Kementerian Keuangan.
Ia menambahkan pembayaran cicilan tersebut akan disalurkan melalui Himpunan Bank Milik Negara (Himbara). “Masing-masing Himbara setiap tahun menerima cicilan 40 persen selama enam tahun. Jadi masih ada sisanya sedikit,” katanya.
Rahma menilai pemotongan hingga 40 persen dana desa akan menggerus ruang fiskal desa dan mengancam pemenuhan kebutuhan dasar warga. Menurut dia, ketika dana desa terserap untuk membayar pinjaman koperasi, pembangunan infrastruktur dasar berpotensi terbengkalai.
Ia juga mempertanyakan kesiapan Kopdes Merah Putih karena hingga kini belum jelas fokus usaha yang akan dijalankan. Rahma menilai program ekonomi berskala besar seharusnya berbasis potensi riil tiap daerah, bukan dimulai dari kebutuhan pembiayaan yang masif.
“Program ini tidak jelas core business-nya. Untuk membangun ekonomi desa, seharusnya melihat potensi sektor-sektor riil dari masing-masing daerah,” katanya.
Rahma menambahkan ketimpangan kualitas sumber daya manusia dan potensi ekonomi antarwilayah dapat menjadi hambatan besar. Desa-desa yang tergolong minus, menurut dia, akan kesulitan mengembangkan koperasi jika model bisnisnya belum jelas.
Ia juga menyoroti tidak adanya mekanisme uji coba (pilot project) sebelum program diluncurkan secara nasional. Menurut Rahma, proyek dengan nilai ratusan triliun seharusnya diuji terlebih dahulu untuk mengukur tingkat keberhasilan dan membatasi risiko kerugian anggaran.
Tanpa kesiapan yang memadai, ia menilai pelibatan bank-bank Himbara justru berpotensi memunculkan risiko kredit macet. “Karena melibatkan Himbara, ini sangat membahayakan, apalagi terkait koperasi simpan pinjam,” ujarnya.
Rahma mengingatkan ribuan koperasi yang pernah dibentuk pemerintah daerah selama ini hanya sedikit yang berhasil. Dengan rekam jejak tersebut, ia lebih melihat potensi kegagalan ketimbang keberhasilan.
Lebih jauh, ia mengaitkan skema Kopdes Merah Putih dengan orientasi kebijakan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang dinilainya lebih mengedepankan agenda politik daripada penguatan fondasi ekonomi.
“Program-program besar seperti MBG, 80 ribu KMP Merah Putih, 3 juta rumah rakyat, dan sekolah rakyat menunjukkan politik masih menjadi panglima. Ketika politik menjadi panglima, pembangunan sulit berhasil,” katanya.
Rahma menegaskan jika program Kopdes Merah Putih tidak berjalan sesuai rencana, anggaran ratusan triliun itu berisiko habis tanpa hasil nyata bagi kesejahteraan warga desa. “Mudah dibicarakan, tetapi sulit implementasinya di lapangan,” ujarnya.