REPUBLIKA.CO.ID,
JAKARTA -- Pengamat menilai perbankan tanah air membutuhkan dolar AS untuk membiayai infrastruktur. Alasannya, proyek pembangunan infrastruktur membutuhkan dolar AS untuk impor bahan baku dan barang modal.
Kepala Ekonom Standard Chartered Bank Fauzi Ichsan mengatakan, sebanyak 80 pembiayaan infrastuktur di Indonesia berasal dari perbankan dan investor asing. Namun, mayoritas pembiayaan perbankan dalam rupiah. "Padalah, proyek pembangunan infrastuktur rata-rata dalam dolar AS untuk impor bahan baku dan modal," ujar Fauzi, Rabu (3/9).
Menurutnya, perbankan dalam negeri tak memiliki pendanaan dalam bentuk dolar AS yang murah. Likuiditas dolar AS juga cepat terkuras karena Indonesia mengalami defisit transaksi berjalan yang besar.
Pembiayaan dalam bentuk dolar AS dapat berasal dari investor asing yang terbagi menjadi utang dan saham. Pembiayaan dalam bentuk utang luar negeri (ULN) memiliki risiko pasar yang besar. Salah satunya berasal dari risiko kenaikan suku bunga AS.
Sementara itu, jika Indonesia ingin mendapatkan dana investor asing yang berasal dari saham, banyak persyaratan yang harus dipenuhi. "Masalah utama biasanya lahan, jarang sekali investor yang mau mengeluarkan uang untuk pembebasan lahan," ujarnya.