Selasa 17 Jun 2025 23:01 WIB

Dampak Perang Tekan Rantai Pasok, Industri Diminta Beralih ke Energi Dalam Negeri

Ketergantungan energi impor dinilai berisiko, bioenergi dan EBT jadi solusi.

Rep: Frederikus Dominggus Bata / Red: Gita Amanda
Menperin Agus Gumiwang Kartasasmita mendorong pelaku industri untuk tidak hanya menggunakan energi secara efisien, tetapi juga mendiversifikasi sumber energi yang digunakan. (ilustrasi)
Foto: Republika/Prayogi
Menperin Agus Gumiwang Kartasasmita mendorong pelaku industri untuk tidak hanya menggunakan energi secara efisien, tetapi juga mendiversifikasi sumber energi yang digunakan. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita mendorong pelaku industri untuk tidak hanya menggunakan energi secara efisien, tetapi juga mendiversifikasi sumber energi yang digunakan dalam proses produksi. Seruan ini disampaikan Menperin sebagai respons terhadap ketegangan geopolitik yang meningkat di Timur Tengah.

Aksi saling serang antara Israel dan Iran dalam beberapa hari terakhir berdampak langsung terhadap pasar energi global, mengingat kawasan Timur Tengah menyumbang hampir 30 persen produksi minyak dunia.

Baca Juga

Indonesia, yang masih bergantung pada impor energi fosil, dinilai berada dalam posisi rentan di tengah konflik geopolitik berkepanjangan. Untuk itu, Menperin menyarankan agar pelaku industri segera beralih ke sumber energi dalam negeri.

“Industri nasional harus mulai mengandalkan sumber energi domestik, termasuk energi baru dan terbarukan seperti bioenergi, panas bumi, serta memanfaatkan limbah industri sebagai bahan bakar alternatif,” kata Agus dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (17/6/2025).

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) juga terus mendorong sektor manufaktur untuk menghasilkan produk-produk yang mendukung program ketahanan energi nasional, seperti mesin pembangkit, infrastruktur energi, dan komponen pendukung energi baru dan terbarukan (EBT).

Di sektor pangan, Agus menekankan pentingnya hilirisasi produk agro sebagai strategi menghadapi dampak ekonomi tidak langsung dari konflik Iran–Israel. Menurutnya, konflik ini telah menyebabkan lonjakan biaya logistik global, memicu inflasi, dan menekan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang negara berkembang, termasuk rupiah.

“Ketiga faktor ini — logistik, inflasi, dan nilai tukar — secara langsung meningkatkan harga bahan baku dan produk pangan impor. Maka jawabannya adalah hilirisasi produk pangan dalam negeri. Industri kita harus mengambil peran dalam memproses hasil pertanian, perkebunan, perikanan, dan kehutanan domestik agar tidak terus bergantung pada bahan baku pangan impor,” jelas Menperin.

Ia menambahkan, hilirisasi sektor agro tidak hanya bertujuan menciptakan produk pangan, tetapi juga mendorong inovasi teknologi produksi yang lebih efisien, guna menciptakan nilai tambah di dalam negeri. Hilirisasi ini menjadi bagian dari prioritas nasional dalam mencapai ketahanan dan kedaulatan pangan di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto.

Agus juga mengimbau pelaku industri untuk memanfaatkan fasilitas Local Currency Settlement (LCS) dari Bank Indonesia guna mengantisipasi tekanan nilai tukar akibat konflik. Fasilitas ini dapat digunakan dalam transaksi dengan negara mitra yang telah menandatangani perjanjian LCS dengan Indonesia.

Krisis global ini, lanjutnya, menunjukkan kerentanan rantai pasok industri manufaktur Indonesia. Gangguan di jalur perdagangan strategis seperti Selat Hormuz—yang menangani 30 persen pengiriman minyak dunia—dan Terusan Suez—jalur 10 persen perdagangan global—telah memicu pengalihan rute melalui Tanjung Harapan, Afrika Selatan. Dampaknya, waktu pengiriman barang antara Asia dan Eropa bertambah 10–15 hari, dan biaya kontainer meningkat hingga 150–200 persen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement