REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Industri asuransi jiwa Indonesia menargetkan memiliki aset Rp 500 triliun pada 2015. Ketua Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), Hendrisman Rahim mengatakan pada kuartal II 2013, total aset industri asuransi jiwa tanah air mencapai Rp 281,20 triliun atau tumbuh 37,65 persen dari kuartal II 2012 Rp 204,28 triliun.
"Kami juga menargetkan penambahan agen menjadi 500 ribu agen di 2015 dari total sekarang 283 ribu agen," kata Hendrisman, Rabu (20/11).
Indonesia, menurutnya, masuk dalam tiga negara dengan penetrasi industri asuransi terendah di Asia dengan 1,1 persen, diikuti Filipina 0,8 persen dan Vietnam 0,7 persen. Sedangkan tiga negara di Asia dengan penetrasi asuransi terbesar, yakni Hong Kong 10,1 persen, Jepang 8,8 persen dan Korea Selatan 7 persen.
Hendrisman mengatakan pada kuartal II 2013, total tertanggung individu asuransi jiwa Indonesia sebanyak 12,79 orang, naik 29,38 persen dari periode yang sama tahun lalu sebanyak 9,88 juta orang. Sementara itu total tertanggung kumpulan mencapai 74,40 juta.
Total pendapatan premi kuartal II tahun ini mencapai Rp 57,59 triliun, tumbuh 14,48 persen dari kuartal 2012 Rp 50,31 triliun. Total klaim di periode yang sama mencapai Rp 35,37 triliun, naik 21,81 persen dari Rp 29,04 triliun.
Hendrisman menyebut industri asuransi jiwa tidak perlu merisaukan kondisi politik akibat Pemilihan Presiden 2014. "Pertumbuhan asuransi jiwa di 2014 diperkirakan mencapai 20 sampai 30 persen," ujarnya. Angka tersebut lebih tinggi dari prediksi pertumbuhan hingga akhir 2013 yakni 15 hingga 20 persen.
Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Firdaus Djaelani mengatakan industri asuransi, khususnya asuransi jiwa menghadapi beberapa tantangan pada 2014. Industri asuransi jiwa harus berhati-hati mengambil keputusan dalam berinvestasi di pasar modal menyusul kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI). Pasalnya portofolio investasi asuransi jiwa di pasar modal sangat dan bisa mencapai 80 persen. Jika tidak berhati-hati memilih investasi, dikhawatirkan akan berdampak negatif pada perusahaan.