REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan penurunan tarif ekspor produk Indonesia ke Amerika Serikat (AS) menjadi 19 persen memiliki dua sisi mata uang. Faisal menyampaikan kesepakatan tersebut membuka peningkatan peluang ekspor produk Indonesia ke Negeri Paman Sam tersebut.
"Dengan 19 persen berarti kita posisinya lebih baik dibandingkan dengan Vietnam yang 20 persen, dibandingkan juga dengan Thailand yang di 30 persen dan lain-lain," ujar Faisal saat dihubungi Republika di Jakarta, Rabu (16/7/2025).
Namun, lanjut Faisal, Indonesia juga perlu mencermati risiko-risiko jangka panjang, terutama dari sisi impor dan sektor domestik yang terdampak akibat membuka pasar domestik dengan tarif nol persen bagi berbagai produk barang dan jasa dari AS.
"Yang perlu diperhitungkan sekarang adalah dari sisi antisipasi dampak impornya. Dengan kita memberikan nol persen, ini luar biasa, memberikan akses yang begitu besar kepada produk-produk dari AS," ucap Faisal.
Faisal juga menyoroti potensi masuknya produk pertanian AS secara masif yang bisa melemahkan daya saing produk lokal. Menurutnya, langkah ini bisa mengganggu agenda ketahanan pangan dan hilirisasi sektor pertanian dalam negeri.
"Kalau semuanya (produk pertanian) dibebaskan tarif, berarti yang perlu diperhatikan adalah bagaimana kemudian kita meningkatkan kapasitas produksi di dalam negeri, untuk meningkatkan swasembada di tengah persaingan dengan produk impor di pertanian yang jadinya jauh lebih murah," sambung Faisal.
Selain pertanian, lanjut Faisal, sektor energi juga mau tak mau melakukan impor dari AS dalam memenuhi kebutuhan energi dalam negeri. Faisal menyebut sektor manufaktur dalam negeri juga harus bersiap menghadapi persaingan yang lebih ketat, terutama jika pembebasan tarif diikuti dengan pelonggaran kebijakan non-tarif seperti Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).
"Ini yang risiko tambahan yang perlu kita kalkulasi ke depan dan kita perlu cari jalan keluarnya supaya tidak menjadi bumerang bagi ekonomi kita," kata Faisal.