Rabu 16 Jul 2025 18:13 WIB

BI Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global Jadi 2,9 Persen

Ketidakpastian global dan tarif AS jadi sorotan utama BI dalam RDG Juli.

Rep: Eva Rianti/ Red: Friska Yolandha
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo.
Foto: BI
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Bank Indonesia (BI) menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun 2025 menjadi 2,9 persen. Proyeksi tersebut seiring dengan kondisi ketidakpastian ekonomi global yang kembali meningkat paskapengumuman kebijakan tarif efektif resiprokal AS ke beberapa negara maju dan berkembang.

“Kebijakan kenaikan tarif resiprokal AS yang direncanakan berlaku mulai 1 Agustus 2025 diperkirakan akan memperlemah prospek pertumbuhan ekonomi dunia khususnya di negara maju,” ujar Gubernur BI Perry Warjiyo dalam Konferensi Pers Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bulan Juli 2025 yang digelar secara daring, Rabu (16/7/2025). 

Baca Juga

Perry menerangkan, pertumbuhan ekonomi di AS, Eropa, dan Jepang dalam tren menurun, di tengah ditempuhnya kebijakan fiskal ekspansif dan pelonggaran kebijakan moneter di negara-negara tersebut. 

Adapun, kinerja ekonomi China juga diperkirakan belum kuat, di tengah berbagai strategi diferensiasi ekspor maupun kebijakan fiskal dan moneter yang ditempuh otoritasnya. Sementara itu, BI menilai kinerja perekonomian India diperkirakan tetap baik, didukung oleh permintaan domestik yang kuat. 

“BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia pada 2025 ini masih belum kuat sekitar 3 persen, dan dengan kecenderungan 2,9 persen,” ungkapnya. 

Perry menyebut, tekanan inflasi AS masih menurun, sehingga mendorong tetap kuatnya ekspektasi arah penurunan Fed Fund Rate (FFR) ke depan. Sementara itu, pergerseran aliran modal keluar dari AS ke Eropa dan negara berkembang, serta komoditas yang dianggap aman seperti emas terus berlanjut, sejalan dengan meningkatnya risiko ekonomi AS, termasuk risiko fiskal. Perkembangan tersebut mendorong berlanjutnya perkembangan indeks mata uang dolar AS terhadap mata uang negara maju dan mata uang negara berkembang. 

“Ke depan, kewaspadaan serta respons dan koordinasi kebijakan yang lebih kuat diperlukan guna memitigasi dampak negatif dari ketidakpastian perekonomian dan pasar keuangan global yang masih tinggi, serta menjaga ketahanan esketernal menjaga stabilitas mata uang dan mendorong pertumbuhan ekonomi dalam negeri,” jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement