REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Indonesia resmi memasuki fase tinjauan teknis dalam proses aksesi menjadi anggota penuh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Tahap ini menjadi krusial untuk menguji keselarasan kebijakan nasional dengan standar negara-negara maju, dengan target penyelesaian pada 2027.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan bahwa pekan ini Sekretariat OECD yang dipimpin Deputy Secretary General OECD, Ambassador Frantisek Ruzicka, berada di Jakarta untuk memantau langsung percepatan aksesi Indonesia.
“Minggu ini tim sekretariat OECD, dipimpin oleh Deputy Secretary General, sedang melakukan kunjungan dan untuk melihat langsung bagaimana percepatan aksesi Indonesia untuk persiapan tinjauan teknis tersebut,” ujar Airlangga di kantornya, Kamis (11/12/2025).
Ia menjelaskan, fokus awal tinjauan teknis diarahkan pada tiga sektor strategis, yakni lingkungan, perdagangan, dan ekonomi digital. “Di bidang tersebut didahulukan peninjauan mengingat kompleksitas dan peran pentingnya dalam membentuk ketahanan nasional untuk menghadapi tantangan global hari ini,” kata Airlangga.
Airlangga mengingatkan, Indonesia merupakan negara ASEAN pertama yang masuk proses aksesi OECD dan telah menjadi key partner sejak 2007.
“Jadi Indonesia adalah negara ASEAN pertama yang masuk ke aksesi OECD, namun di belakang kita ada Thailand, sudah menyampaikan initial memorandum, jadi ini sudah beberapa negara ASEAN sedang berpacu untuk mendapatkan aksesi OECD,” ucapnya.
Pemerintah juga telah menetapkan Keputusan Presiden Nomor 30 Tahun 2025 yang menyesuaikan struktur kementerian terkait aksesi OECD. Selain itu, pemerintah memperkuat koordinasi digital melalui platform INA-OECD.
“Kemudian pemerintah sendiri telah memperbarui platform kita dalam aksesi OECD ini, Indonesia membuat platform digital yang disebut INA OECD untuk wadah koordinasi dan kolaborasi digital bagi Indonesia,” tutur Airlangga.
Ia menegaskan, aksesi OECD sudah menjadi amanat pembangunan nasional.
“Dan OECD ini, keanggotaan OECD sudah menjadi amanat dari Undang-Undang RPJMN Indonesia 2024–2029, dan initial memorandum yang sudah disubmit Indonesia tahun lalu, sehingga saat sekarang kita masuk dalam periode tinjauan teknis,” jelasnya.
Dari sisi substansi, Indonesia telah menyerahkan Initial Memorandum (IM) yang berisi penilaian mandiri terhadap kesesuaian kebijakan nasional dengan instrumen OECD. Pendalaman kini dilanjutkan ke setiap kementerian dan lembaga, termasuk tata kelola dan antikorupsi.
“Kemudian dari segi keanggotaan ini, transformasi struktural terus dilakukan dan tata kelola juga perlu kita jaga, termasuk tadi dari Deputi KPK Pak Agus menyampaikan kesiapan Indonesia untuk masuk di dalam konvensi anti-bribery internasional, jadi nanti leading sector-nya dari KPK,” ungkapnya.
Airlangga menekankan, tujuan akhir aksesi adalah peningkatan kualitas hidup masyarakat. Aksesi Indonesia ini diharapkan bisa menelurkan kebijakan-kebijakan yang dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat karena tujuannya adalah kebijakan yang lebih baik untuk kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera.
Ia juga menegaskan proses aksesi dilakukan secara terbuka. “Dan hari ini kami juga menyampaikan dan memperlihatkan kepada OECD bahwa proses yang Indonesia lakukan adalah transparan dan terbuka, termasuk kepada teman-teman dari media cetak dan media elektronik,” jelasnya.
Aksesi OECD ini juga dipandang sebagai alat navigasi di tengah ketidakpastian global. Keanggotaan Indonesia di OECD diharapkan dapat menavigasi ketidakpastian serta kondisi multilateralisme dan multipolarisme yang ada di global.
Airlangga turut menyoroti penguatan posisi Indonesia di kancah internasional melalui reformasi ekonomi dan diplomasi. Ia mencontohkan percepatan program makan bergizi gratis.
“Jadi dalam satu tahun ini sudah hampir 44 juta di mana negara lain butuh 11 tahun,” ungkap Airlangga.
Perihal mekanisme penerimaan, Airlangga menegaskan bahwa keanggotaan OECD memerlukan keputusan bulat seluruh negara anggota. “Jadi, keanggotaannya tentu membutuhkan unanimous keputusan dari anggota yang lain,” ujarnya.
Saat ditanyakan potensi normalisasi hubungan Indonesia–Israel dalam konteks aksesi OECD, Airlangga menegaskan pemerintah tetap mengacu pada sikap Presiden RI Prabowo Subianto. “Nah, terkait (Israel), Bapak Presiden sudah jelas dalam pidato di PBB dan saya pikir itu sudah menjadi jelas bahwa apabila Israel menyelesaikan isu secara politik dengan Palestina, maka di situlah proses mengenai Indonesia. Jadi, tidak ada statement lain kecuali statement Pak Presiden di dalam pidato PBB,” kata Airlangga.
Dari sisi OECD, Deputy Secretary General Frantisek Ruzicka menyampaikan apresiasi terhadap Indonesia. “Saya sangat senang berpartisipasi di diskusi tentang proses penerimaan OECD di Indonesia,” ujarnya.
Ia menyebut pertemuan tersebut sebagai salah satu yang paling konstruktif. Ia menyoroti meningkatnya kepercayaan publik Indonesia terhadap institusi.
“Kepercayaan, 88 persen orang; pendidikan 85 persen; keadilan 75 persen. Ini tidak hanya mengenai nomor, tapi juga mengenai tren. Kepercayaan ini meningkat selama 10 tahun,” jelasnya.
Ruzicka menegaskan peluang Indonesia bergabung pada 2027 tetap besar selama reformasi berjalan konsisten.
“Dan jika Indonesia berjalan seperti yang telah dilakukan hingga saat ini, ada kemungkinan yang besar, kemudian pemerintah akan datang di masa depan,” tuturnya.
Ia juga menilai Indonesia sebagai negara yang selalu mendorong kerja sama multilateral. “Indonesia selalu merupakan pemimpin dan promotor kooperasi multilateral,” ujarnya.