Rabu 10 Dec 2025 10:12 WIB

Survei Segara Institute Ungkap Perbankan bukan Pilihan Utama Saat Warga Butuh Akses Dana Cepat

Temuan ini sekaligus menjadi alarm bagi perbankan.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Satria K Yudha
Kredit perbankan (ilustrasi).
Foto: dok Freepik
Kredit perbankan (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ketika keuangan rumah tangga atau usaha sedang tekor, masyarakat tidak lari ke bank. Hasil survei Segara Research Institute menunjukkan pilihan utama justru jatuh ke keluarga dan pinjaman daring (pindar), yang dinilai lebih cepat dan mudah diakses. Sementara perbankan menjadi pilihan terakhir.

Survei lapangan yang dilakukan pada Juni–Juli 2025 itu mengambil sampel 2.119 responden di 20 kabupaten/kota pada tujuh provinsi. Temuan besarnya adalah saat mengalami defisit keuangan, responden paling banyak meminjam ke keluarga (39,05 persen), disusul pindar (29,37 persen), dan teman (19,74 persen). Bank berada di posisi buncit dengan porsi hanya 8,45 persen. 

Baca Juga

Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah Redjalam mengatakan alasan utama pindar bukan bunga murah. Dalam memilih sumber pembiayaan, mayoritas responden lebih mempertimbangkan kecepatan pencairan dana dan kemudahan persyaratan.

Kecepatan menjadi magnet terkuat. Survei mencatat 73,5 persen responden memilih pindar karena faktor ini. Sebaliknya, perusahaan tempat bekerja, pegadaian, dan rentenir dipilih karena kemudahan persyaratan. Yang menarik, pola ini membuat suku bunga tidak lagi jadi variabel penentu.

"Kecepatan dan kemudahan menjadi pertimbangan utama mengindikasikan adanya kebutuhan dana yang mendesak di masyarakat, sehingga besarnya suku bunga atau biaya pinjaman tidak menjadi sesuatu yang penting," ujar Piter di Jakarta, Selasa (9/12/2025).

Padahal, biaya pinjaman antar sumber berbeda jauh. Bunga pinjaman riil tertinggi yang dibayar responden mencapai 16,7 persen per bulan dari pindar, sementara yang terendah 0,02 persen dari bank. Survei menduga bunga pindar yang ekstrem itu terkait pinjaman online ilegal karena responden belum sepenuhnya mampu membedakan pindar legal dan pinjol. 

Meski dianggap mahal, mayoritas peminjam pindar tetap sanggup membayar. Sebanyak 96,85 persen responden peminjam pindar mengaku cicilan mereka lancar atau minimal kurang lancar, sedangkan yang macet hanya 3,15 persen. Kondisi ini menguatkan kesimpulan Segara bahwa suku bunga tidak berpengaruh besar terhadap perilaku memilih pinjaman maupun kemampuan membayar.

Survei juga mendeteksi praktik yang dinilai merugikan nasabah, yakni skema pembayaran cicilan yang besar di awal lalu mengecil di periode berikutnya (skema tadpole). Praktik ini paling banyak dialami responden yang berada dalam kondisi terdesak dan butuh uang cepat untuk kebutuhan darurat.

Atas temuan itu, Segara menilai penguatan pembiayaan digital tidak cukup dengan menekan bunga. Kunci utamanya adalah edukasi agar masyarakat paham membedakan pindar legal dan pinjol ilegal, serta penegakan hukum terhadap praktik pinjol yang menipu dan skema tadpole yang memberatkan.

Temuan ini sekaligus menjadi alarm bagi perbankan. Selama akses bank masih dipersepsikan lambat dan berlapis syarat, masyarakat akan terus mencari jalur cepat meski bunganya lebih tinggi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement