REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia terus menghadapi tantangan ketahanan energi di tengah konsumsi energi fosil yang masih menjadi tumpuan utama berbagai sektor kehidupan. Senior Director Oil, Gas, Petrochemical Danantara Indonesia, Wiko Migantoro, mengatakan pentingnya memahami karakter energi yang digunakan masyarakat saat ini.
“Ada dua macam energi, yakni energi berbasis fosil seperti migas dan batubara serta energi nonfosil yang berasal dari air, angin, hingga nabati,” ujar Wiko dalam acara Rembuk Energi dan Hilirisasi 2025 bertajuk “Energi yang Kuat adalah Energi yang Menjaga Bumi” di Pos Bloc, Jakarta, Rabu (10/12/2025).
Mantan Wakil Direktur Utama Pertamina itu menjelaskan kedua jenis energi tersebut memiliki karakteristik berbeda sehingga berdampak pada strategi pengelolaannya. Energi fosil, kata dia, memiliki keterbatasan karena tidak dapat diperbarui.
“Perbedaannya, energi fosil bisa habis dan tidak bisa diperbarui, sementara energi nonfosil masih bisa diperbarui kembali,” ucapnya.
Menurut Wiko, perkembangan teknologi sejak era industrialisasi membuat penggunaan energi fosil semakin meluas. Ia mengatakan penggunaan energi berbasis minyak pun meningkat pesat dibandingkan sumber energi alternatif.
“Dengan perkembangan teknologi, pemakaian energi fosil, khususnya minyak, itu lebih banyak dibandingkan yang nonfosil,” sambung Wiko.
Di Indonesia, lanjut Wiko, penggunaan energi primer berbasis migas telah mencapai tingkat yang sangat tinggi. Ia menyebut sektor industri dan transportasi menjadi konsumen utama bahan bakar tersebut.
“Konsumsi energi primer berbasis migas di Indonesia mencapai 1,7 juta barel per hari,” lanjut Wiko.
Namun, tingginya konsumsi itu tidak sebanding dengan produksi minyak nasional yang terus menurun dari tahun ke tahun. Wiko mengatakan Indonesia masih harus menutupi kekurangan pasokan dengan impor.
“Produksi minyak nasional hanya sekitar 580 ribu barel per hari sehingga kita harus melakukan impor minyak mentah dari luar negeri,” ucap dia.
Wiko memaparkan kapasitas kilang yang mencapai 1,1 juta barel per hari pun belum cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Pemerintah tetap membutuhkan pasokan minyak tambahan dari berbagai negara.
“Negara kita memang memiliki kilang berkapasitas sekitar 1,1 juta barel per hari, tetapi untuk memasoknya kita tetap harus mengimpor minyak,” lanjut Wiko.
Menurut Wiko, kondisi tersebut juga terjadi pada kebutuhan LPG yang meningkat dengan cepat. Ia menyampaikan tingginya konsumsi mengharuskan pemerintah mempertahankan impor dalam jumlah besar. “Kita masih mengimpor LPG karena konsumsi LPG setahun mencapai 8 juta metrik ton,” ungkap dia.
Wiko mengatakan pemerintah kini terus berupaya memperkuat kemandirian energi nasional. Ia menyebut pengurangan impor menjadi langkah strategis untuk menjaga ketahanan energi jangka panjang. “Inilah yang sedang dicanangkan pemerintah untuk meningkatkan kemandirian energi dengan mengurangi impor sebanyak mungkin,” kata Wiko.
Ia mengatakan arah kebijakan pemerintah melalui Kementerian ESDM sejalan dengan upaya nasional untuk memaksimalkan pemanfaatan sumber daya domestik. Wiko menilai pendekatan ini merupakan bagian dari program Asta Cita yang digagas pemerintah. “Pemerintah telah mendukung pengurangan impor minyak mentah sesuai Asta Cita untuk memaksimalkan sumber daya domestik,” ucap dia.
Menurut Wiko, strategi energi tiap negara berbeda sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan masing-masing. Ia menjelaskan setiap negara memiliki pendekatan tersendiri dalam memenuhi permintaan energi masyarakatnya. “Masing-masing negara memiliki strategi berbeda bergantung pada mandat dan solusi yang harus mereka jalankan,” sambungnya.