Jumat 05 Dec 2025 11:19 WIB

Kadin Sebut Gas Jadi Kunci Ketahanan Energi dan Pangan Indonesia

Ketergantungan industri strategis terhadap gas semakin kuat.

Wakil Ketua Umum KADIN Bidang ESDM Aryo Djojohadikusumo.
Foto: Kadin
Wakil Ketua Umum KADIN Bidang ESDM Aryo Djojohadikusumo.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) menilai gas bumi akan menjadi faktor penentu keberlanjutan agenda hilirisasi dan ketahanan industri dalam satu dekade ke depan. Ketersediaan gas, yang selama ini kerap dianggap isu teknis, dinilai kini berada di pusat kebijakan energi dan pangan nasional.

Wakil Ketua Umum KADIN Bidang ESDM Aryo Djojohadikusumo mengatakan, ketergantungan industri strategis terhadap gas semakin kuat, terutama sektor pupuk yang merupakan pilar ketahanan pangan.

Baca Juga

“Tidak mungkin ada ketahanan pangan tanpa pupuk, dan tidak mungkin ada pupuk tanpa gas,” ujarnya dalam Energy Insights Forum bertajuk Gas Outlook 2026: Powering Energy Resilience with Strong Governance, Kamis (4/12/2025), berdasarkan siaran pers.

Aryo mengingatkan gas diproyeksikan menjadi sekitar seperempat bauran energi dalam RUPTL 10–15 tahun mendatang. Posisi ini membuat pasokan gas semakin krusial bagi keberlanjutan hilirisasi industri yang sedang dikejar pemerintah. “Ketersediaan gas akan menentukan keberlanjutan sejumlah prioritas pembangunan,” katanya.

Wakil Ketua MPR RI Eddy Soeparno menambahkan, ketahanan energi dan ketahanan pangan merupakan dua agenda besar yang bertumpu pada keandalan pasokan gas. Pemerintah menargetkan industrialisasi besar-besaran dan produksi energi yang stabil, namun seluruhnya bergantung pada kepastian infrastruktur dan pasokan gas.

Direktur Perencanaan Strategis, Portofolio, dan Komersial Pertamina Hulu Energi (PHE), Edy Karyanto, memaparkan kondisi pasokan hulu yang masih belum mampu memenuhi kebutuhan pengguna.

Demand kita 2.600 MMSCFD, sementara kapasitas lifting hanya 2.000. Tahun ini shorted, 2026 shorted, bahkan sampai 2034,” ujarnya.

Edy menjelaskan bahwa meski ada potensi oversuplai secara nasional dari proyek-proyek baru, keterbatasan infrastruktur, alokasi ekspor, dan lokasi sumber membuat pasokan domestik tetap ketat.

“Ada hal-hal yang harus dikolaborasikan, dari kebijakan sampai kesiapan infra,” katanya.

Partner EY-Parthenon EY Indonesia, Eric Listyosuputro, menambahkan bahwa secara global suplai tumbuh lebih cepat daripada permintaan, masing-masing sekitar 7 persen dan 2 persen per tahun. Asia menjadi kawasan dengan pertumbuhan permintaan tertinggi, termasuk Indonesia. Ia menilai gas akan menyandang peran transisi jangka panjang karena dapat menurunkan emisi industri berat hingga 40–60 persen dibanding batu bara.

Di sisi hilir, Direktur Manajemen Risiko PGN Eri Surya Kelana menyoroti panjangnya umur infrastruktur gas. Perubahan model bisnis atau ketidaksesuaian proyeksi dapat memicu indikasi impairment dan risiko hukum bagi BUMN.

PGN juga menghadapi tantangan harga LNG yang relatif mahal bagi pasar domestik. Perusahaan menerapkan skema blended energy untuk menjaga keterjangkauan harga, sementara porsi LNG dalam portofolio pasokan diperkirakan mendekati 20 persen tahun depan.

Dari regulator, Kepala Divisi Komersialisasi Migas SKK Migas, Ufo Budiarius Anwar, menegaskan kenaikan kebutuhan gas domestik tidak selalu dapat diimbangi fleksibilitas industri hulu. Ia mengingatkan gas seharusnya diutamakan untuk industri yang memiliki multiplier effect tinggi.

“LNG bukan pilihan murah. Kepastian regulasi dan insentif penting agar proyek besar seperti Masela dan lapangan ENI dapat berjalan,” kata Ufo.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement