Jumat 05 Dec 2025 08:25 WIB

INDEF Ingatkan Pemerintah soal Ancaman Gangguan Pangan pada 2026

Tantangan produksi dan tekanan harga global berpotensi memperlemah ketahanan pangan.

Rep: Muhammad Nursyamsi/ Red: Gita Amanda
Pengendara melintasi jalan darurat di kawasan Mega Mendung, Lembah Anai, Tanah Datar, Sumatera Barat, Kamis (4/12/2025). Jalan darurat tersebut dibangun oleh swadaya masyarakat akibat putusnya akses jalan nasional Padang-Bukittinggi karena banjir bandang, sementara hanya bisa dilewati pengendara motor dan pejalan kaki diluar jam kerja pekerjaan rehablitasi jalan.
Foto: ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra
Pengendara melintasi jalan darurat di kawasan Mega Mendung, Lembah Anai, Tanah Datar, Sumatera Barat, Kamis (4/12/2025). Jalan darurat tersebut dibangun oleh swadaya masyarakat akibat putusnya akses jalan nasional Padang-Bukittinggi karena banjir bandang, sementara hanya bisa dilewati pengendara motor dan pejalan kaki diluar jam kerja pekerjaan rehablitasi jalan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah menempatkan kemandirian pangan sebagai agenda strategis nasional untuk mengurangi kerentanan terhadap gejolak harga global, disrupsi logistik, dan ketergantungan pada impor. Menjelang 2026, sektor pertanian masih menghadapi tantangan struktural, yakni pertumbuhan PDB sektor pertanian tertinggal dari pertumbuhan ekonomi nasional, pemulihan pascapandemi belum solid, produktivitas stagnan, dan adopsi teknologi berjalan lambat.

"Ketimpangan antarkomoditas tetap terlihat, di mana padi relatif stabil dan jagung meningkat, sementara kedelai dan gula melemah," ujar Kepala Pusat Pangan, Energi, dan Pembangunan Berkelanjutan INDEF Abra Talattov dalam diskusi publik bertajuk Outlook Sektor Pertanian 2026: Strategi Mewujudkan Kemandirian Pangan Nasional di Restoran Tjikinii Lima, Jakarta, Kamis (4/12/2025).

Baca Juga

Abra memaparkan impor beras khusus lebih dari 223 ribu ton pada Januari–Juli 2025 memperlihatkan produksi domestik belum mencukupi. Dalam situasi tekanan ekonomi global dan volatilitas harga pangan, ucap Abra, pendekatan Food, Energy, Water Nexus menjadi krusial untuk memastikan konsistensi kebijakan dari hulu hingga hilir.

Abra menyampaikan analisis kinerja sektor pertanian berdasarkan data kuartalan sejak 2015. Pertumbuhan sektor pertanian berada di sekitar 4,9 persen pada kuartal III 2025 dengan tingkat fluktuasi yang lebih tinggi dibandingkan PDB nasional yang stabil di atas lima persen.

"Hal ini memperlihatkan pertanian belum pulih secara struktural dari dampak pandemi. Padi dan jagung menunjukkan perbaikan output, tetapi komoditas strategis seperti gula dan kedelai mengalami stagnasi atau penurunan," ucap Abra.

Sementara itu, lanjut Abra, permintaan terhadap pangan berbasis impor seperti gandum, gula, dan kedelai terus meningkat tanpa diimbangi kapasitas produksi domestik yang memadai. Abra menyebut kondisi ini memperlemah neraca pangan 2025 yang sudah menunjukkan tekanan pada aspek ketersediaan maupun stabilitas harga.

Dalam mengantisipasi risiko pangan 2026, Abra menekankan potensi gangguan distribusi, koordinasi kelembagaan yang belum optimal, serta peningkatan biaya produksi yang dapat berdampak pada daya beli masyarakat. Ia juga menyoroti kebijakan perlindungan sosial pangan dan beban subsidi komoditas yang berpotensi menambah tekanan terhadap fiskal jika efisiensi kebijakan tidak ditingkatkan.

"Oleh karena itu, pendekatan Food, Energy, Water Nexus harus menjadi landasan dalam penyusunan kebijakan pangan nasional, memastikan integrasi antara kebijakan air, energi produksi, dan sistem pangan," kata Abra.

Anggota Komisi IV DPR Endang Setyawati Thohari menjelaskan ketahanan pangan tidak hanya berkaitan dengan peningkatan produksi, tetapi membutuhkan konsistensi regulasi, kepastian tata kelola lahan, dan perlindungan bagi petani kecil. Menurutnya, risiko global seperti fluktuasi harga pangan, konflik geopolitik, dan ketidakpastian rantai pasok menuntut Indonesia memiliki sistem yang jauh lebih resilien.

"Transformasi pertanian harus mencakup penguatan riset dan inovasi benih, modernisasi logistik, efisiensi penggunaan input, serta revitalisasi infrastruktur irigasi untuk memastikan kenaikan produktivitas yang merata," ujar Endang.

Melalui fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan, sambung Endang, Komisi IV DPR berkomitmen memperkuat alokasi pendanaan pertanian dan mempercepat implementasi one map policy agar konflik lahan dapat dihindari. Endang juga menekankan pentingnya menjadikan petani kecil, masyarakat lokal, dan generasi muda sebagai pusat ekosistem pangan melalui akses yang lebih luas terhadap modal, teknologi, dan kemitraan yang berkeadilan.

Direktur Operasi PT Pupuk Indonesia (PIHC) Dwi Satriyo Annurogo menyampaikan ketersediaan pupuk, khususnya nitrogen, merupakan faktor kunci peningkatan produktivitas padi dan komoditas pangan lainnya. Dengan proyeksi peningkatan kebutuhan beras menuju Indonesia Emas 2045, ucap Dwi, tambahan produksi sebesar 5,69 juta ton perlu dipastikan melalui pemupukan yang tepat dan berkelanjutan.

Dwi menyampaikan kapasitas produksi nasional saat ini berada pada tingkat yang sangat memadai dan terus diperkuat melalui perbaikan tata kelola distribusi. Digitalisasi melalui command center, dashboard pemantauan, dan sistem pencatatan elektronik diterapkan untuk memastikan penyaluran subsidi pupuk berlangsung lebih transparan, akuntabel, dan tepat sasaran hingga ke tingkat petani.

"Ke depan, strategi transformasi industri pupuk akan berfokus pada peningkatan efisiensi energi, pengembangan pemupukan presisi, serta pembangunan pabrik baru di kawasan timur Indonesia untuk memperkuat rantai pasok nasional," kata Dwi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement