Senin 27 Oct 2025 22:01 WIB

ISEAS: Ambisi Pertumbuhan Berbasis Kebijakan Populis Mengandung Risiko Serius

Kebijakan fiskal agresif disebut bisa menimbulkan salah alokasi anggaran.

Rep: Muhammad Nursyamsi/ Red: Gita Amanda
Pemberhentian mendadak Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada September menandai titik balik kebijakan ekonomi Indonesia.  (ilustrasi)
Foto: Republika/Thoudy Badai
Pemberhentian mendadak Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada September menandai titik balik kebijakan ekonomi Indonesia. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemberhentian mendadak Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada September menandai titik balik kebijakan ekonomi Indonesia. Hal ini menjadi sorotan Peneliti Senior sekaligus Koordinator Program Studi Indonesia dan Koordinator Pusat Studi APEC di Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS)–Yusof Ishak Institute, Siwage Dharma Negara, bersama Peneliti Tamu sekaligus Koordinator Bersama Program Media, Teknologi, dan Masyarakat di ISEAS–Yusof Ishak Institute serta Asisten Profesor Adjunct di Universitas Nasional Singapura, Maria Monica Wihardja.

Keduanya menyebut Sri Mulyani sebagai jangkar keuangan Indonesia selama hampir dua dekade, dengan menekankan prinsip kehati-hatian dan kredibilitas fiskal. Pengganti Sri Mulyani, Purbaya Yudhi Sadewa, dinilai mengisyaratkan keinginan yang lebih besar untuk mendukung program populis Presiden Prabowo Subianto melalui langkah yang berpotensi memperluas kredit, meningkatkan beban utang, dan mengikis kepercayaan investor.

Tidak ada kode iklan yang tersedia.
Baca Juga

“Pengunduran dirinya yang mendadak setelah protes keras pada Agustus telah menimbulkan kekhawatiran tentang arah kebijakan fiskal di bawah penggantinya, Purbaya Yudhi Sadewa,” tulis laporan keduanya seperti dikutip Republika dari laman Fulcrum, Senin (27/10/2025).

Siwage dan Maria menyebut program-program populis Prabowo memang telah digagas di bawah kepemimpinan Sri Mulyani, tetapi kegigihannya untuk melanjutkan kebijakan tersebut menegaskan pentingnya sosok yang teguh dan kredibel seperti Sri Mulyani. Menurut mereka, kehadiran Sri Mulyani dalam kabinet Prabowo akan membantu meningkatkan kepercayaan investor di tengah pilihan kebijakan yang dipertanyakan dan gaya pemerintahan yang terlalu terpusat.

Keduanya menilai Indonesia tengah bergulat dengan persoalan lapangan pekerjaan dan penurunan kelas menengah akibat pertumbuhan ekonomi yang lambat. Program populis Presiden Prabowo Subianto, seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Koperasi Merah Putih, dinilai bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan dan lapangan kerja, tetapi kemungkinan hanya akan menghasilkan kegiatan ekonomi yang sempit dan manfaat kesejahteraan yang terbatas.

“Sementara itu, pengeluaran besar untuk program-program populis ini berisiko menimbulkan salah alokasi anggaran secara serius,” tulis laporan tersebut.

Siwage dan Maria menambahkan, meningkatnya biaya hidup dan stagnasi upah riil memperkuat ketidakpuasan publik. Dengan kondisi itu, Purbaya mewarisi tantangan kompleks untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap manajemen fiskal dan memastikan kepercayaan pasar tetap terjaga.

Menurut mereka, protes besar pada Agustus menjadi pengingat bahwa frustrasi publik lebih dalam daripada sekadar soal keuntungan ekonomi jangka pendek. Masyarakat menginginkan lapangan kerja, biaya hidup terjangkau, dan transparansi penggunaan uang publik. Upaya membangun kembali kepercayaan publik dinilai membutuhkan keterbukaan anggaran dan komunikasi yang jelas mengenai prioritas kebijakan.

“Berbeda dengan manajemen fiskal Sri Mulyani yang dikenal konservatif, Purbaya justru mengadopsi pendekatan yang lebih ekspansif, menjanjikan suntikan likuiditas yang lebih besar ke perekonomian untuk mencapai pertumbuhan lebih tinggi,” tulis mereka.

Menurut laporan tersebut, pendekatan Purbaya tampak mendukung ambisi Prabowo untuk memacu pertumbuhan hingga delapan persen, jauh melampaui tren jangka panjang sebesar lima persen. Keduanya juga menyoroti langkah Purbaya memindahkan dana pemerintah sebesar Rp 200 triliun ke bank-bank milik negara (Himbara).

“Namun, tidak jelas bagaimana bank-bank negara menyalurkan likuiditas tambahan itu ke dalam kredit riil bagi bisnis dan individu di tengah iklim sektor swasta yang masih berhati-hati serta selera konsumen terhadap kredit yang tetap lesu,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement