REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana penyesuaian jam perdagangan di Bursa Efek Indonesia (BEI) masih dalam tahap kajian oleh PT Bursa Efek Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
“Terkait dengan wacana penyesuaian jam perdagangan di Bursa Efek Indonesia, OJK dapat menyampaikan bahwa diskusi dan koordinasi dengan BEI sudah dilakukan secara intensif sebagai bagian dari evaluasi berkelanjutan terhadap dinamika dan kebutuhan pasar,” ujar Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon OJK, Inarno Djajadi, dalam keterangannya, Kamis (9/10/2025).
Inarno menyebut, saat ini tengah dilakukan penyusunan kajian komprehensif yang mencakup berbagai aspek, mulai dari kesiapan infrastruktur hingga efektivitas implementasinya. “Kajian ini akan mencakup berbagai aspek, termasuk kesiapan infrastruktur, dampak terhadap pelaku pasar, harmonisasi dengan pasar regional, serta efektivitas implementasinya dalam mendukung likuiditas dan efisiensi transaksi,” katanya.
Ia menambahkan, sebelum kebijakan diterapkan, OJK akan memastikan setiap keputusan mempertimbangkan prinsip kehati-hatian, melibatkan konsultasi dengan seluruh pemangku kepentingan, serta mengedepankan stabilitas dan kemajuan pasar modal Indonesia secara berkelanjutan.
Sebelumnya, BEI diketahui tengah mengkaji penyesuaian jam perdagangan dan jumlah lot saham sebagai bagian dari upaya pendalaman pasar serta peningkatan inklusi investor ritel. Kajian tersebut mempertimbangkan tren global dan kebutuhan segmen investor muda, khususnya di luar Pulau Jawa.
“Seperti yang sudah kami sampaikan, itu sedang dalam proses kajian. Tentu kami memperhatikan beberapa hal. Pertama adalah bagaimana kita bisa melakukan pendalaman pasar,” ujar Direktur Pengembangan BEI, Jeffrey Hendrik, dalam acara Sharia Investment Week (SIW) 2025 di Main Hall BEI, Jakarta, Kamis (19/6/2025).
Jeffrey menjelaskan, secara segmentasi, investor pasar modal terbagi antara lokal dan asing. Dalam tiga tahun terakhir, terjadi pergeseran signifikan dari sisi demografi domestik. Sebanyak enam juta investor baru tercatat, dan dominasi Pulau Jawa mulai berkurang.
“Yang tadinya 70 persen investor kita ada di Pulau Jawa, sekarang kalau kita lihat tiga tahun terakhir, pertumbuhan investor baru hampir enam juta orang. Dan enam juta orang itu menggeser dominasi Pulau Jawa yang kini hanya 67–68 persen,” ungkapnya.
Perubahan demografi tersebut mendorong BEI mempertimbangkan kepentingan investor di kawasan WITA dan WIT yang memiliki jam aktif lebih awal dibanding Jakarta. Hal ini turut menjadi alasan evaluasi terhadap jam perdagangan.
“Sekarang jam perdagangan 9 ke 4, bisa saja 8 ke 4, bisa 9 ke 5, bisa 8 ke 5, atau bahkan lebih dari itu. Opsi-opsi tersebut masuk dalam kajian yang tentunya belum bisa kami tentukan sekarang,” kata Jeffrey.
Selain jam perdagangan, BEI juga tengah mengkaji ulang kebijakan jumlah lot perdagangan guna meningkatkan likuiditas dan akses publik terhadap pasar modal. Dengan penyesuaian lot size, BEI akan menilai apakah kebijakan tersebut berdampak terhadap kenyamanan dan keterjangkauan masyarakat untuk berinvestasi.
Ia menambahkan, beberapa bursa global seperti London dan Korea telah menerapkan satuan lot yang lebih kecil, bahkan satu lembar per lot. Hal ini dinilai relevan untuk meningkatkan partisipasi investor pemula.
“Kalau kita melihat tren global, kalau ada perubahan, yang paling memungkinkan adalah turun, bukan naik,” ujarnya.
Namun, Jeffrey mengakui implementasi kebijakan tersebut belum bisa dilakukan dalam waktu dekat. Fokus utama BEI tahun ini masih pada penyempurnaan sistem perdagangan yang baru.
“Jadi, sumber daya kita saat ini mungkin akan fokus ke situ. Tapi kajian tetap berjalan. Nanti soal kapan akan diimplementasikan tentu kita sesuaikan dengan jadwalnya,” kata dia.