Rabu 19 Nov 2025 07:54 WIB

Debitur Macet karena Karakter Dinilai BTN tak Pantas Terima Kredit Baru

Bank diminta berhati-hati menilai debitur yang sengaja tak memenuhi kewajiban.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Gita Amanda
Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BTN) Nixon LP Napitupulu bersama jajaran direksi dan komisaris BTN dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) BTN di Menara I BTN, Jakarta, Selasa (18/11/2025). Dalam agenda tersebut para pemegang saham menyetujui pemisahan (spin-off) Unit Usaha Syariah (UUS) kepada PT Bank Syariah Nasional (BSN). Melalui keputusan ini, seluruh hak dan kewajiban UUS BTN dialihkan ke BSN. Hasil penggabungan UUS BTN dan Bank Victoria Syariah tersebut akan menjadikan BSN sebagai bank umum syariah (BUS) dengan aset terbesar kedua di Indonesia, dengan total aset mencapai Rp71,3 triliun.
Foto: Dok Republika
Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BTN) Nixon LP Napitupulu bersama jajaran direksi dan komisaris BTN dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) BTN di Menara I BTN, Jakarta, Selasa (18/11/2025). Dalam agenda tersebut para pemegang saham menyetujui pemisahan (spin-off) Unit Usaha Syariah (UUS) kepada PT Bank Syariah Nasional (BSN). Melalui keputusan ini, seluruh hak dan kewajiban UUS BTN dialihkan ke BSN. Hasil penggabungan UUS BTN dan Bank Victoria Syariah tersebut akan menjadikan BSN sebagai bank umum syariah (BUS) dengan aset terbesar kedua di Indonesia, dengan total aset mencapai Rp71,3 triliun.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk mengingatkan catatan macet di Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) Otoritas Jasa Keuangan tidak disamaratakan dalam penyaluran kredit, terutama kredit pemilikan rumah (KPR). Direktur Utama BTN Nixon LP Napitupulu menilai lembaga keuangan perlu membedakan debitur yang terdampak faktor eksternal dengan debitur yang bermasalah secara karakter.

“Jadi mesti hati-hati. Kalau Rp200 ribu saja tidak mau bayar, masa kamu kasih Rp200 juta?” kata Nixon selepas Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) di Menara BTN, Jakarta, Selasa (18/11/2025) lalu.

Baca Juga

Nixon menjelaskan debitur yang tercatat bermasalah di SLIK secara garis besar berasal dari dua kelompok besar. Pertama, debitur yang terkena pukulan kondisi ekonomi, penurunan pendapatan, atau masalah kesehatan hingga kesulitan memenuhi kewajiban.

“Kalau kredit bermasalah di SLIK itu, there are two reasons,” ucap Nixon. Ia menyebut kelompok pertama sebagai korban situasi, bukan semata-mata tidak beritikad baik membayar.

Kelompok kedua, tutur Nixon, adalah debitur yang macet karena karakter, sengaja tidak memenuhi kewajiban meski nilai tunggakan relatif kecil. Dalam kasus seperti ini, bank diminta ekstra hati-hati menyalurkan kredit baru.

“Tapi kedua, SLIK bermasalah ini bisa jadi karena karakter. Memang orangnya tidak mau bayar,” ujar Nixon. Ia menilai perilaku seperti itu menjadi sinyal risiko tinggi bila tetap diberi fasilitas pinjaman yang lebih besar.

Nixon menekankan pentingnya penilaian iktikad baik debitur dalam fungsi intermediasi perbankan. Ia menilai tanpa pembedaan penyebab tunggakan, penggunaan SLIK justru berpotensi menimbulkan masalah moral hazard. “Itu yang menurut saya harus dipilah, jangan sama rata,” tutur Nixon. Ia menambahkan proses penilaian karakter debitur sebaiknya diserahkan kepada bank melalui asesmen langsung.

BTN mencatat debitur yang benar-benar menjadi korban faktor eksternal cenderung kooperatif saat menghadapi masalah pembayaran. Mereka mau datang ketika dipanggil bank serta bersedia mengurus surat permohonan dan dokumen yang dibutuhkan.

“Nah, yang korban biasanya kooperatif. Dipanggil mau datang, mau menemui bank. Bikin surat permohonan, itu yang kooperatif, yang korban,” kata Nixon. Sikap ini dinilai menjadi indikator masih adanya niat debitur untuk menyelesaikan kewajiban.

Sebaliknya, debitur yang tidak kooperatif dinilai berisiko tinggi bila kembali diberi kredit. Nixon menyinggung debitur yang enggan membayar kewajiban kecil, sulit ditemui saat dipanggil, hingga memilih menggugat dengan bantuan kuasa hukum.

“Tapi kalau tidak kooperatif, Rp200 ribu saja tidak mau bayar. Dipanggil lagi ketemu, cenderung protes. Bawa lawyer lagi. Ngapain kamu kasih kredit lagi orang kayak gitu?” ujar Nixon. Ia menegaskan catatan SLIK pada debitur seperti ini tidak semestinya diperlakukan sama dengan mereka yang terdampak krisis ekonomi.

Sebelumnya, OJK menegaskan SLIK tidak dimaksudkan menjadi penghambat penyaluran kredit oleh lembaga jasa keuangan. SLIK disebut berfungsi sebagai sumber informasi netral yang mendukung penilaian kelayakan calon debitur.

Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar menyampaikan status kredit yang tercatat di SLIK bukan satu-satunya acuan dalam analisis pembiayaan. Lembaga jasa keuangan tetap diminta mempertimbangkan faktor karakter, kapasitas, dan prospek usaha calon debitur sebelum mengambil keputusan kredit.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement