Ahad 22 Jun 2025 20:59 WIB

Amerika Serikat Serang Iran, Apa Kabar Neraca Dagang dan Inflasi Indonesia?

Tekanan dari sisi inflasi akan menggerus daya beli masyarakat.

Rep: Muhammad Nursyamsi/ Red: Ahmad Fikri Noor
Suasana bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (10/4/2025).
Foto: Republika/Prayogi
Suasana bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (10/4/2025).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menyebut serangan Amerika Serikat (AS) ke Iran berpotensi memicu gejolak harga minyak global secara signifikan. Faisal menekankan lonjakan harga ini akan langsung berdampak terhadap neraca perdagangan Indonesia yang masih bergantung pada impor energi.

"Potensi ancaman kenaikan harga minyak. Ini yang paling cepat, mungkin yang paling kentara, karena sensitivitas harga minyak terhadap kondisi instabilitas geopolitik internasional itu sangat besar," ujar Faisal saat dihubungi Republika di Jakarta, Ahad (22/6/2025).

Baca Juga

Menurutnya, gejolak harga minyak akibat konflik bersenjata ini bukan sekadar risiko global, tetapi juga ancaman riil terhadap stabilitas ekonomi domestik. Indonesia sebagai negara neto importir minyak akan merasakan dampaknya dalam bentuk tekanan pada neraca transaksi berjalan.

"Kenaikan harga minyak itu akan berdampak terhadap peningkatan impor kita dan juga peningkatan inflasi," lanjut dia.

Faisal menyampaikan tekanan dari sisi inflasi akan menggerus daya beli masyarakat, terutama kelompok bawah, yang paling rentan terhadap kenaikan harga barang kebutuhan pokok. Dalam kondisi ini, efek domino dari kenaikan harga energi akan dirasakan secara luas di sektor-sektor lain.

"Inflasi global yang disebabkan oleh kenaikan harga minyak akan sangat terasa di negara seperti Indonesia yang konsumsi bensinnya besar," ucap Faisal.

Meski begitu, Faisal melihat ada peluang dari lonjakan harga energi bagi Indonesia yang merupakan pengekspor komoditas seperti batubara dan gas alam. Nilai ekspor dari sektor ini berpotensi naik dan bisa sedikit mengimbangi tekanan neraca dagang.

"Karena kita adalah net eksportir batubara dan gas alam, maka kenaikan harga bisa membantu ekspor energi kita," sambung dia.

Namun, lanjut Faisal, tidak semua sektor mendapat keuntungan dari konflik tersebut karena komoditas nonenergi justru mengalami tekanan harga. Faisal mencontohkan harga crude palm oil (CPO) atau minyak sawit yang terus turun akibat lemahnya permintaan global yang makin tertekan oleh ketidakpastian geopolitik.

"Harga CPO dan komoditas lain turun karena tensi geopolitik menekan permintaan global yang sebelumnya sudah lemah akibat perang dagang," lanjut Faisal.

Faisal menjelaskan pelemahan ekspor nonenergi, jika terjadi bersamaan dengan lonjakan impor energi, dapat mempersempit surplus dagang yang selama ini menjadi penopang ekonomi nasional. Situasi ini akan mengganggu stabilitas neraca perdagangan dan bisa memicu ketidakpastian ekonomi dalam negeri.

"Kalau ekspor melemah sementara impor meningkat, maka neraca dagang kita akan makin sempit," ungkap Faisal.

Menurut Faisal, situasi global yang kian tidak menentu ini menuntut Indonesia untuk memperkuat ketahanan ekonomi melalui kebijakan domestik yang adaptif. Selain menjaga konsumsi dan daya beli, langkah-langkah seperti pengendalian impor dan perlindungan industri lokal sangat dibutuhkan.

"Dalam kondisi seperti ini, yang bisa kita kontrol adalah ekonomi kita sendiri, termasuk mendorong industri substitusi impor agar tidak terlalu bergantung pada pasokan luar," ungkap dia.

Faisal juga menekankan pentingnya diplomasi aktif dari pemerintah Indonesia untuk meredam eskalasi konflik, meski diakuinya upaya tersebut tak mudah mengingat keterlibatan negara-negara besar. Selain itu, Indonesia perlu mencari pasar-pasar ekspor baru agar tidak terjebak dalam ketergantungan pada negara-negara yang sedang bertikai.

"Kita harus aktif mencari pasar alternatif terutama di luar negara-negara yang sedang berkonflik saat ini," ucapnya.

Faisal menegaskan ketahanan ekonomi jangka panjang harus dibangun dengan mengembangkan industri substitusi impor dan memperkuat basis produksi dalam negeri. Ketergantungan terhadap barang impor di tengah situasi global yang rapuh hanya akan membuat Indonesia semakin rentan terhadap guncangan eksternal.

"Membangun industri substitusi impor menjadi penting agar kita tidak terlalu bergantung pada ekonomi global yang sedang tidak stabil," kata Faisal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement