REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas Nasional (Aspermigas) merespons situasi di Timur Tengah terutama terkait ketegangan Israel-Iran. Ketua Komite Investasi Aspermigas, Moshe Rizal mengatakan, situasi ini berdampak terhadap fluktuasi harga dan pasokan.
Ia menerangkan, harga minyak dunia pada pekan ini saja sudah kembali naik di atas level 77 dolar AS per barel. Situasi demikian masih tak menentu. Terutama jika melihat Amerika Serikat ikut menyerang fasilitas nuklir Iran.
"Kita tidak tahu ke depannya seperti apa. Berapa lama perang ini akan berlangsung dan seberapa meluas perang ini? Apakah nanti juga negara-negara tetangga ikut? Terus juga ada China, Rusia, dan lain sebagainya. Ini kan kita harus berhati-hati. Jadi, kalau dari sisi harga, jelas akan terpengaruh, dan makin lama ya makin naik," kata Moshe kepada Republika.co.id, Ahad (22/6/2025).
Menurutnya, JP Morgan sudah mengeluarkan ulasan ada potensi harga minyak dunia bisa di atas 100 dolar AS per barel. Bila situasi demikian berkepanjangan akan memengaruhi biaya energi.
Moshe menyebut, dunia ini masih bergantung pada minyak dan gas. Jika harga dua komoditas itu mengalami kenaikan, kemudian pasokannya terganggu, bisa menimbulkan gejolak.
"Jadi, inflasi akan meningkat di banyak negara, ekonomi dunia makin melambat," ujarnya.
Iran, lanjut dia, termasuk negara berpengaruh di OPEC. Produsen minyak ketiga terbesar di organisasi tersebut. Apabila, pasokan dari Iran mengalami masalah, otomatis berdampak ke belahan dunia lain.
Kemudian, Iran juga mengancam akan menutup Selat Hormuz. Sekitar 20 hingga 30 persen, distribusi minyak dunia melewati jalur tersebut. Terutama dari negara-negara Teluk seperti Arab Saudi, Bahrain, Kuwait, Qatar, Oman, Uni Emirat Arab, Irak.
"Itu kalau Iran nutup sudah kacau balau. Jadi, luar biasa dampaknya. Terus serang saja. Pasokan ke Indonesia, Indonesia kan juga beli dari Timur Tengah," kata Moshe.
Di lain pihak, Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita mendorong pelaku industri untuk tidak hanya menggunakan energi secara efisien, tetapi juga mendiversifikasi sumber energi yang digunakan dalam produksi. Ia menyampaikan hal itu sebagai respon terhadap ketegangan di Timur Tengah.
Aksi saling serang Israel-Iran terjadi dalam beberapa hari terakhir. Dampak langsung konflik ini, paling terlihat di pasar energi. Itu karena peran Timur Tengah sebagai penghasil minyak utama, menyumbang hampir 30 persen produksi global.
Indonesia masih memiliki ketergantungan pada energi fosil impor. Hal ini semakin berisiko di tengah konflik geopolitik berkepanjangan. Oleh karena itu opsi alternatif diperlukan sebagai langkah solutif.
"Industri nasional harus mulai mengandalkan sumber energi domestik, termasuk energi baru dan terbarukan seperti bioenergi, panas bumi, serta memanfaatkan limbah industri sebagai bahan bakar alternatif,” kata Agus, dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (17/6/2025).
Kementerian Peridustrian (Kemenperin), bahkan terus mendorong agar sektor manufaktur menghasilkan produk-produk yang mendukung program ketahanan energi nasional. Itu seperti mesin pembangkit, infrastruktur energi, dan komponen pendukung energi terbarukan (EBT). Di sektor pangan, Agus juga menyoroti urgensi hilirisasi produk agro sebagai respons strategis terhadap dampak tidak langsung perang Iran–Israel terhadap ekonomi global.