REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ketua Dewan Pers, Prof Komaruddin Hidayat menegaskan, Dewan Pers siap melanjutkan penyelesaian sengketa jurnalistik antara Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman dan Tempo secara profesional, independen, dan sesuai ketentuan perundang-undangan.
“Dewan Pers optimistis masalah ini dapat diselesaikan dengan baik sesuai mekanisme yang berlaku,” ujar Prof Komaruddin dalam rilis yang dikutip Republika Rabu (19/11/2025).
Penegasan ini disampaikan setelah Dewan Pers menyimpulkan Tempo telah terbukti melanggar Kode Etik Jurnalistik, sebagaimana tertuang dalam Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) Nomor 3/PPR-DP/VI/2025 yang ditandatangani Prof. Komarudin Hidayat selaku ketua, dan diperkuat putusan sela Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 684/Pdt.G/2025/PN Jkt.Sel tanggal 17 November 2025.
Putusan tersebut mengembalikan penyelesaian sengketa kepada mekanisme Dewan Pers sesuai amanat UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Dalam PPR tersebut, Dewan Pers menyatakan poster dan motion graphic “Poles-poles Beras Busuk” yang dipublikasikan Tempo melanggar Pasal 1 dan Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik, yaitu informasi harus disampaikan secara akurat, tidak melebih-lebihkan, dan sesuai fakta (Pasal 1), serta melarang pencampuran fakta dan opini yang bersifat menghakimi (Pasal 3).
Hasil sidang pleno Dewan Pers pada 17 Juni 2025 menegaskan konten visual Tempo terbukti tidak akurat, berlebihan, serta memicu persepsi publik yang salah.
Karenanya, Dewan Pers dalam rekomendasinya mewajibkan Tempo untuk memperbaiki judul poster dan motion graphic dalam waktu 2×24 jam, mencantumkan catatan resmi bahwa konten awal melanggar Kode Etik Jurnalistik, dan disertai permintaan maaf kepada Pengadu (Kementan) dan masyarakat pembaca (khususnya 160 juta petani, red).
Sengketa ini bermula dari laporan Kementerian Pertanian mengenai pemberitaan dan konten visual Tempo yang dinilai tidak akurat, tidak berimbang, dan tidak memenuhi standar etik jurnalistik. Akibat akses artikel yang berbayar, poster dan motion graphic tersebut kemudian membentuk opini publik yang keliru, sebagaimana tercatat dalam PPR.
Dalam kasus ini, Tempo dianggap menyajikan narasi yang menggambarkan seolah-olah terdapat praktik manipulasi kualitas beras oleh pihak Kementan. Kementan menilai konten itu tidak diverifikasi, tidak proporsional, dan menimbulkan persepsi menyesatkan.
Kementan juga menyoroti, konten infografis dan motion graphic Tempo telah menyakiti perasaan 160 juta petani Indonesia, mendegradasi capaian kinerja beras nasional yang dalam beberapa tahun terakhir berada pada tingkat tinggi. Hal ini berpotensi mengurangi kepercayaan publik terhadap kerja keras petani dan pemerintah.
Dengan keluarnya PPR Dewan Pers dan putusan sela PN Jaksel, maka Tempo diwajibkan meminta maaf kepada Mentan Amran dan masyarakat, (khususnya 160 juta petani, red), serta menjalankan seluruh rekomendasi Dewan Pers tanpa pengecualian.
Dalam merespons putusan PN Jakarta Selatan pada 17 November 2025, Direktur LBH Pers Mustafa Layong menyatakan putusan tersebut salah satu bentuk kemenangan rakyat dalam melawan pembungkaman terhadap kebebasan pers.
“Putusan Pengadilan Jakarta selatan seperti air pelepas dahaga di tengah paceklik demokrasi. Kemenangan ini milik pers, warga, serta kita semua yang menghendaki kebebasan berpikir, berpendapat dan mengakses informasi,’’ katanya.
Ia menambahkan, putusan ini jadi pengingat agar kita rakyat tidak menyerah berjuang kala pemerintah kadang bisa melakukan apa saja, bahkan untuk hal yang kita anggap tidak masuk akal
Selain itu, Mustafa Layong menegaskan sejak awal Ketua Kelompok Substansi Strategi Komunikasi dan Isu Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Pertanian Wahyu Indarto yang mengadukan poster berita tersebut bertindak untuk atas nama pribadi, tidak mewakili siapa pun.