Selasa 17 Jun 2025 08:57 WIB

Bank Dunia: Garis Kemiskinan BPS Lebih Relevan untuk Indonesia

Metode pengukuran kemiskinan global dan nasional berbeda sesuai tujuan masing-masing.

Suasana permukiman padat penduduk di kawasan Kebon Melati, Jakarta, Ahad (15/6/2025). Data terakhir Bank Dunia menyebutkan angka kemiskinan di Indonesia melonjak drastis hingga menyentuh angka 194,6 juta jiwa sesuai hitungan baru Bank Dunia pada Juni 2025. Namun, angka ini nampak jauh berbeda dengan hitungan kemiskinan yang terakhir kali dirilis BPS. Tingkat kemiskinan Indonesia per September 2024, dalam rilisan BPS, hanya sebesar 8,57% atau sekitar 24,06 juta jiwa.
Foto: Republika/Prayogi
Suasana permukiman padat penduduk di kawasan Kebon Melati, Jakarta, Ahad (15/6/2025). Data terakhir Bank Dunia menyebutkan angka kemiskinan di Indonesia melonjak drastis hingga menyentuh angka 194,6 juta jiwa sesuai hitungan baru Bank Dunia pada Juni 2025. Namun, angka ini nampak jauh berbeda dengan hitungan kemiskinan yang terakhir kali dirilis BPS. Tingkat kemiskinan Indonesia per September 2024, dalam rilisan BPS, hanya sebesar 8,57% atau sekitar 24,06 juta jiwa.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Dunia menyatakan bahwa garis kemiskinan (GK) yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) lebih relevan untuk mengukur tingkat kemiskinan nasional Indonesia. Dalam lembar fakta bertajuk The World Bank’s Updated Global Poverty Lines: Indonesia, dikutip di Jakarta, Selasa (17/6/2025), Bank Dunia menjelaskan bahwa garis kemiskinan nasional tetap menjadi acuan paling tepat dalam pengambilan kebijakan suatu negara.

Sementara itu, data yang dirilis Bank Dunia merupakan pengukuran internasional yang bertujuan menjadi tolok ukur dalam memantau kondisi kemiskinan global serta membandingkan tingkat kemiskinan antarnegara.

Baca Juga

Perbedaan tersebut bersifat intensional. Bank Dunia secara sengaja menggunakan pendekatan pengukuran yang berbeda dari pendekatan pemerintah masing-masing negara, mengingat perbedaan tujuan dari kedua jenis pengukuran.

“Garis kemiskinan nasional disusun oleh pemerintah dan disesuaikan untuk konteks spesifik suatu negara. Data tersebut digunakan untuk pengambilan kebijakan pada tingkat nasional, seperti dukungan terhadap kelompok miskin,” tulis Bank Dunia dalam dokumen tersebut.

Bank Dunia menyebutkan bahwa mereka menggunakan data yang sama dengan Pemerintah Indonesia dalam mengukur garis kemiskinan, yakni hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) oleh BPS. Namun, meski menggunakan sumber data yang sama, metode perhitungannya berbeda.

Dalam mengukur garis kemiskinan, Bank Dunia mempertimbangkan perbedaan harga dari tiga aspek, yakni perubahan waktu, perbedaan wilayah, dan perbedaan biaya hidup antarnegara atau purchasing power parity (PPP).

Sementara itu, metode pengukuran nasional oleh BPS tidak mempertimbangkan penyesuaian harga dari waktu ke waktu maupun penggunaan PPP, mengingat tujuan pengukuran bersifat nasional. Aspek perbedaan wilayah pun menggunakan pendekatan yang berbeda dari Bank Dunia.

Terkait perubahan persentase penduduk miskin di Indonesia, Bank Dunia menjelaskan bahwa pergeseran tersebut disebabkan oleh meningkatnya ambang batas kelompok tidak miskin dalam standar global. Artinya, peningkatan garis kemiskinan tidak serta-merta menunjukkan bertambahnya jumlah penduduk miskin, melainkan mencerminkan meningkatnya standar hidup layak.

Bank Dunia juga mengingatkan bahwa Indonesia baru saja naik status dari negara berpendapatan menengah bawah (low and middle income countries/LMIC) menjadi negara berpendapatan menengah atas (upper middle income country/UMIC).

Jika pada kategori LMIC posisi Indonesia berada di dekat ambang batas atas, maka pada kategori UMIC saat ini Indonesia berada mendekati ambang batas bawah.

Pendapatan nasional bruto (GNI) per kapita Indonesia tercatat sebesar 4.870 dolar AS pada 2023. Sementara batas atas kategori UMIC adalah sebesar 14.005 dolar AS, atau hampir tiga kali lipat dari GNI Indonesia

sumber : ANTARA
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement