REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di tengah maraknya pemanfaatan kecerdasan buatan (AI) di sektor keuangan, Bank Jago memilih tidak menyerahkan kendali penuh pada teknologi. AI ditempatkan sebagai “co-pilot” yang menangani pekerjaan rutin, sementara keputusan strategis tetap menjadi ranah manusia agar ruang berpikir dan bertumbuh bagi karyawan tidak hilang.
“Di Bank Jago, AI dimanfaatkan untuk memberi saran, tapi keputusan tetap di tangan manusia. Jadi, prosedur rutin yang membuang waktu bisa dihindari dan tim bisa fokus melatih talenta, memahami konteks, dan mengambil keputusan penuh makna,” ucap Head of People & Culture Bank Jago, Pratomo Soedarsono atau Tommy dalam keterangan, Selasa (18/11/2025).
Menurut Tommy, budaya kerja adaptif bukan semata soal kecepatan dan teknologi, tetapi perihal bagaimana organisasi memberi ruang bagi orang untuk belajar dan berkolaborasi. “Budaya kerja yang adaptif bukan hanya soal kecepatan atau teknologi, melainkan tentang menciptakan ruang bagi setiap orang untuk belajar, berinovasi, dan berkolaborasi,” ujarnya.
Ia menilai pendekatan itu krusial di tengah cepatnya perubahan industri akibat ekonomi digital. Dengan lebih dari 200 juta pengguna internet dan pertumbuhan ekonomi digital tercepat di Asia Tenggara, tuntutan terhadap layanan perbankan yang transparan dan inklusif semakin kuat.
Tommy menyebut generasi muda menjadi pendorong utama perubahan tersebut. “Dalam lanskap inilah Bank Jago menempatkan diri, bukan sekadar sebagai penyedia layanan perbankan berbasis teknologi, tetapi sebagai organisasi yang membangun budaya dan kapabilitas manusia agar mampu beradaptasi dan bertumbuh di tengah ekosistem digital yang terus berubah,” tuturnya.
Bank Jago mengembangkan tiga pilar budaya adaptif bagi “Jagoan”, sebutan bagi karyawannya. Pilar tersebut meliputi tim lintas fungsi yang otonom, perjalanan pengembangan kapabilitas yang jelas, dan ekosistem belajar terbuka lewat Jago Digital Academy.
Dalam implementasinya, AI dipakai untuk merapikan birokrasi agar organisasi lebih luwes. “Dengan pendekatan ini, lanjut Tommy, mengubah organisasi yang kaku menjadi jaringan kolaboratif yang hidup,” sebagaimana tertulis dalam pemaparannya.
Ia juga menekankan peran pemimpin yang bergeser dari pengarah menjadi mentor. “Model ini bukan sekadar cara baru bekerja, melainkan cara baru memandang manusia di dalam organisasi,” kata Tommy.
Prinsip besarnya, ketika orang diberi ruang dan kepercayaan, mereka akan berkembang lebih cepat. “Ketika orang diberi ruang dan kepercayaan, mereka tidak hanya bekerja lebih baik, tapi juga tumbuh lebih cepat,” ujarnya.
Pendekatan tersebut selaras dengan tujuan Bank Jago menghadirkan layanan keuangan digital yang tidak hanya mengedepankan teknologi, tetapi juga relevan secara manusiawi. Bagi Tommy, teknologi harus memperkuat manusia, bukan menggantikannya.