Jumat 27 Sep 2024 12:57 WIB

Rencana Pemisahan dari Kemenkeu, Ini Kisah Sulitnya Bersihkan Raja-Raja Kecil Ditjen Pajak

Dalam buku itu disebutkan adanya raja-raja kecil di tubuh Kemenkeu.

Presiden Joko Widodo (tengah) berdialog dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (kanan) serta Menko Perekonomian Darmin Nasution (kiri).
Foto: Antara/ Yudhi Mahatma
Presiden Joko Widodo (tengah) berdialog dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (kanan) serta Menko Perekonomian Darmin Nasution (kiri).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wacana pembentukan Badan Penerimaan Negara masih terus bergulir. Ide tersebut masuk dalam janji kampanye Presiden terpilih Prabowo Subianto. Salah satu tujuannya adalah mendukung upaya reformasi perpajakan dan meningkatkan penerimaan negara. Dengan adanya lembaga pemerintah baru tersebut, maka Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea Cukai, dan sebagian tugas Direktorat Jenderal Anggaran terkait Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) akan dipisahkan dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Upaya reformasi kebijakan di Kemenkeu dan turunannya yang mengurusi penerimaan negara itu sejatinya sudah beberapa kali dilakukan. Salah satunya diungkapkan dalam buku 'No Limits: Reformasi dengan Hati' yang ditulis oleh Metta Dharmasaputra. Buku itu merupakan biografi Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Baca Juga

Dalam buku itu disebutkan adanya raja-raja kecil di tubuh Kemenkeu pada awal Sri Mulyani memulai reformasi di Kemenkeu atau sekitar 2006. Istilah itu populer baik di kalangan internal maupun eksternal Kemenkeu. Raja-raja kecil itu adalah para direktur jenderal (dirjen) yang punya kewenangan sangat besar terutama yang mengurusi pajak, bea cukai, serta anggaran.

"Reformasi tidak akan sanggup dijalankan. Institusionalnya harus berubah," kata Marwanto Harjowiryono yang kala itu merupakan Wakil Ketua Tim Reformasi Birokrasi Departemen Keuangan seperti dikutip dari buku 'No Limits: Reformasi dengan Hati'.

"Kenapa berubah? Karena pada saat itu ada pengelompokan-pengelompokan power yang luar biasa," ujarnya.

Dalam buku itu disebutkan juga betapa seksinya urusan mutasi atau penempatan pegawai di beberapa bagian di Depkeu. Mutasi itu menjadi urusan penting karena menentukan apakah seorang pegawai ditempatkan di "tempat basah" atau "kering kerontang".

Biro Kepegawaian yang menentukan soal mutasi ini menjadi bagian yang punya kuasa besar. "Bahkan sebagian orang mengatakan, kekuasaannya lebih besar dari Direktur Jenderal sekalipun," ujar Sri Mulyani.

Darmin Nasution "dikerjai" anak buahnya sendiri

Ada pula cerita yang diungkapkan Dirjen Pajak ketika itu, Darmin Nasution. Sejak menjadi orang nomor satu di Ditjen Pajak, Darmin menggencarkan mutasi, rotasi, dan promosi pegawai. Akan tetapi, suatu ketika dirinya terkejut ketika surat keputusan tentang mutasi dan promosi yang ada justru berbeda dengan hasil rapat.

"Saya benar-benar dikerjai oleh Kepala Bagian Kepegawaian. Mereka ubah SK-nya," kata Darmin jengkel.

Kekesalan Darmin bertambah ketika mengetahui bahwa Biro Kepegawaian sangat berkuasa. Sudah sejak lama bahkan terjadi praktik jual beli jabatan untuk eselon 3 dan 4.

"Untuk kantor yang 'basah' masuknya mahal," ujar Darmin.

Tak ada ampun, Darmin segera ambil tindakan tegas. "Saya tumpas 100 persen semua bagian kepegawaian mulai dari kepalanya sampai orang terendah, saya buang," kata Darmin.

Langkah tegas Darmin sejalan dengan apa yang dilakukan oleh Sri Mulyani. Sikap tegas itu dirasa penting oleh Sri Mulyani dan Darmin untuk menunjukkan bahwa reformasi birokrasi di departemen keuangan dan ditjen pajak tidak main-main. Ini juga untuk menunjukkan bahwa kebijakan ditjen pajak merupakan bagian dari skema besar reformasi birokrasi yang didesain oleh Departemen Keuangan.

Ketika roda reformasi mulai digulirkan Sri Mulyani di ujung April 2006, Ditjen Pajak dan Bea Cukai merupakan sasaran utama. Darmin Nasution dan Anwar Supriyadi (kala itu menjadi Dirjen Bea Cukai) didapuk menjadi panglima baru di medan perang melawan maraknya praktik korupsi yang telah berakar.

Darmin awalnya tak langsung menyanggupi permintaan Sri Mulyani untuk memperkuat skuadnya. Bukan karena Sri adalah juniornya di LPEM FE UI, pertimbangannya lebih karena usianya yang sudah menginjak 57 tahun. Menurutnya, butuh orang yang lebih muda untuk bertarung di medan yang 'ganas'.

Namun akhirnya Darmin luluh juga setelah Sri memintanya berkali-kali. Ia pun bisa memahami karena sosok yang diperlukan adalah orang dari luar Ditjen Pajak, serta sosok dirjen senior untuk memimpin perubahan.

Dengan bekal keyakinan itu, Darmin tak ragu untuk berduet dengan Sri Mulyani memulai kerja besar reformasi birokrasi di Depkeu. Hubungan saya dengan Bu Ani (Sri Mulyani) bukan sekadar saling kenal dan dekat tapi sudah saling tahu," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement