REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengidentifikasi potensi kehilangan penerimaan negara sekitar Rp 140 miliar akibat praktik selisih harga (underinvoicing) dalam ekspor produk turunan minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO). Modus ini dilakukan dengan melaporkan barang bernilai tinggi sebagai bahan lemak (fatty matter) yang bebas pungutan ekspor.
“Dugaan kami dari 25 pelaku tersebut setidaknya total transaksinya sekitar Rp 2,08 triliun. Jadi potensi kerugian negara kami estimasi dari Rp 2,08 triliun dari sisi pajak itu sekitar Rp 140 miliar,” ujar Dirjen Pajak Bimo Wijayanto kepada wartawan di New Port Tanjung Priok, Jakarta Utara, Kamis (6/11/2025).
Bimo menjelaskan, 25 pelaku tersebut merupakan wajib pajak badan usaha yang terlibat dalam ekspor produk turunan sawit dengan pola serupa. Salah satunya ialah PT MMS, yang saat ini sedang diperiksa bersama tiga perusahaan afiliasinya, yakni PT LPMS, PT LPMT, dan PT SUNN. Pemeriksaan dilakukan untuk memastikan kebenaran data, kesesuaian nilai transaksi, dan kepatuhan terhadap kewajiban perpajakan.
“Awalnya itu kami mendeteksi modus lama, yaitu memakai palm oil mill effluent (POME). Diakui sebagai POME, tapi sebenarnya bukan POME,” kata Bimo.
Menurut dia, selisih nilai yang dilaporkan menyebabkan berkurangnya beban pajak secara signifikan. “Biaya masuknya bisa sepuluh kali lipat dari yang seharusnya. Ketika kita menghitung kembali beban pajak yang seharusnya diterima negara, tentu nilainya jauh berkurang apabila yang diakui adalah hak ekspor yang tidak sebenarnya dari barang yang diekspor,” jelasnya.
DJP mencatat, modus underinvoicing ini merupakan kelanjutan dari praktik penyamaran komoditas POME pada periode 2021–2024. Saat itu, tercatat 257 wajib pajak melaporkan ekspor POME dengan total nilai PEB Rp 45,9 triliun. “Untuk POME ada 257 laporan dengan nilai total PEB-nya sekitar Rp 45,9 triliun. Ini masih dugaan apakah benar POME atau bukan, dan masih dalam proses investigasi tim di Direktorat Jenderal Pajak,” ucap Bimo.
Bimo menegaskan, DJP telah menerapkan pendekatan multi-door bersama Satgas Optimalisasi Penerimaan Negara (OPN) Polri, Kejaksaan Agung, PPATK, BPKP, dan KPK. “Pendekatan kami hari ini adalah penegakan hukum dengan multi-door approach. Kami akan terus melakukan kerja sama dan sinergi dengan para penegak hukum lainnya,” ungkapnya.
Ia menambahkan, penegakan hukum ini tidak hanya untuk memberi efek jera, tetapi juga memperbaiki tata kelola ekspor nasional. “Selain efek deterrent, yang paling penting adalah pembenahan tata kelola agar hilirisasi industri sawit mencapai target dan nilai tambahnya tetap di Indonesia,” kata Bimo.