REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Keputusan Komisi Eropa untuk menerapkan tarif terhadap kendaraan listrik impor asal China atau Tiongkok hingga 38,1 persen mulai Juli mendatang telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan produsen mobil Eropa. Langkah ini diambil untuk melindungi industri otomotif Eropa dari serbuan kendaraan listrik murah asal China, namun berpotensi memicu perang dagang yang merugikan kedua belah pihak.
Produsen mobil Jerman seperti BMW, Volkswagen, dan Mercedes-Benz, yang mengandalkan pasar China untuk sepertiga penjualan mereka, berada dalam posisi yang sangat rentan. CEO BMW, Oliver Zipse, mengkritik keputusan ini sebagai "cara yang salah" untuk mengatasi persaingan industri.
Meskipun tarif tinggi ini dapat menambah miliaran euro biaya impor, produsen mobil China tampaknya siap menyerap biaya tambahan tersebut dan tetap mempertahankan keuntungan. Beberapa produsen seperti Nio, BYD, dan Chery bahkan telah mengumumkan rencana untuk memproduksi mobil di Eropa guna menghindari tarif ini.
Will Roberts, kepala penelitian otomotif di Rho Motion, menyatakan bahwa reaksi dari Beijing akan menjadi faktor penentu dalam perkembangan situasi ini. “Produsen Eropa masih sangat bergantung pada pasar China, sehingga potensi pembalasan dari Beijing bisa memperlambat transisi mereka ke kendaraan listrik,” tambahnya.
Taruhan dalam situasi ini sangat tinggi, terutama bagi produsen mobil Jerman. Pada kuartal pertama tahun ini, penjualan BMW di China mencapai hampir 32 persen dari total penjualannya, sedangkan Volkswagen dan Mercedes-Benz masing-masing mencatat sekitar 30 persen.
Saham produsen mobil Eropa mengalami penurunan setelah pengumuman tarif ini, dengan saham VW turun 1,2 persen, BMW turun 0,9 persen, dan Mercedes turun 0,5 persen.