Jumat 07 Jun 2024 09:41 WIB

Ekonom: Tapera Hampir Nggak Ada Positifnya

Kebijakan ini bisa menjadi kontraproduktif untuk tujuan pertumbuhan ekonomi.

Rep: Eva Rianti/ Red: Lida Puspaningtyas
Sejumlah buruh membentangkan spanduk saat melaksanakan aksi di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Kamis (6/6/2024). Aksi yang diikuti oleh berbagai kelompok elemen buruh tersebut untuk mendesak pemerintah agar segera mencabut program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang dinilai tidak sesuai dengan upah buruh yyang tidak mengalami kenaikan signifikan setiap tahunnya.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah buruh membentangkan spanduk saat melaksanakan aksi di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Kamis (6/6/2024). Aksi yang diikuti oleh berbagai kelompok elemen buruh tersebut untuk mendesak pemerintah agar segera mencabut program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang dinilai tidak sesuai dengan upah buruh yyang tidak mengalami kenaikan signifikan setiap tahunnya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didin S. Damanhuri mengkritisi peliknya persoalan yang akan terjadi jika program tabungan perumahan rakyat (Tapera) diberlakukan. Dia menyarankan agar pemerintahan Presiden Joko Widodo mengkaji ulang untuk memberlakukannya, terutama mengenai kewajiban bagi pekerja swasta dan mandiri.

Didin mengatakan terjadi banyak penolakan dari berbagai pihak, baik dari serikat pekerja maupun perusahaan terhadap program Tapera. Menurutnya, program ini akan memberi dampak yang lebih banyak mudharat-nya daripada manfaatnya.

Baca Juga

“Hampir enggak ada nilai positifnya (Tapera) karena perumahan sudah ada skemanya di BPJS untuk karyawan swasta yang ingin punya rumah. Ngapain pula harus ada ini? jadi double atau ganda,” kata Didin saat dihubungi Republika, Kamis (6/6/2024).

Menurutnya, program Tapera hanya akan menjadi beban saja, terlebih bagi para pekerja swasta menengah atau buruh yang sudah dibebani banyak potongan atas pendapatannya. Terlebih di tengah daya beli masyarakat yang merosot dengan harga kebutuhan pokok yang kian melambung. Beban juga akan dirasakan bagi perusahaan karena sudah cukup banyak dikenai pemotongan.

 

“Ini sangat kontraproduktif untuk tujuan pertumbuhan ekonomi Pak Jokowi yang ingin di atas 5,3 persen, jadi ini memukul balik tujuan pemerintah sendiri. Pasti akan terpukul karena pengusaha dan buruh salah satu faktor yang menyumbang terhadap pertumbuhan ekonomi, apalagi kalau lebih jauh ini akan mempertajam ketimpangan yang sudah sangat buruk,” jelasnya.

Lebih lanjut, dia menuturkan masyarakat mengkhawatirkan tidak jelasnya arah dari dana Tapera. Mengingat sengkarut Tabungan Perumahan (Taperum)-PNS yang gagal sebelumnya. Terlebih tetiba dalam program Tapera, tidak hanya PNS, TNI, dan Polri tapi melibatkan pegawai swasta dan mandiri atau freelance.

Hal itu justru menjadi semacam sebuah pemerasan terhadap pendapatan masyarakat. Menurut pendapatnya, pemerintah bukan tidak mengerti mengenai permasalahan tersebut.

Alih-alih ingin mengatasi masalah backlog, justru Didin menilai ada tujuan di balik Tapera. Yakni ambisi Jokowi untuk melancarkan program-program megaproyek yang saat ini mengalami kesulitan keuangan, seperti proyek Ibu Kota Nusantara (IKN). Berdasarkan perhitungannya, dana Tapera jika dijalankan, bisa mencapai hingga Rp 70 triliun per tahun dengan kira-kira mewajibkan sebanyak 3,8 juta karyawan atau buruh swasta sebagai peserta.

Dia menekankan agar Jokowi tidak membuat kebijakan yang merugikan rakyat. Dia meminta agar Jokowi juga memperhatikan nasib masyarakat yang berpenghasilan pas-pasan, di tengah kondisi ekonomi yang fluktuatif dan biaya hidup yang makin mahal.

“Jadi menurut saya pemerintah Jokowi lebih baik berpikir ulang. Lebih banyak negatifnya lah. Hampir semuanya negatif. Lakukan redesign ulang,” tuturnya. 

 

Tidak menyelesaikan masalah backlog perumahan

Pengamat Properti Anton Sitorus juga mengkritisi soal kebijakan tabungan perumahan rakyat (Tapera) yang saat ini menimbulkan polemik. Menurut hematnya, masalah perumahan bukan sekedar persoalan pembiayaan saja, tapi lebih luas daripada itu. Sehingga program tersebut disinyalir bukanlah solusi bagi masyarakat untuk memiliki rumah.

“Kalau ada yang bilang bahwa ini masalah backlog, ya enggak lah. Untuk mengatasi masalah backlog masalah perumahan perlu berbagai macam cara dari pemerintah juga swasta, dari aspek properti, aspek pembiayaan, aspek legalitas, juga rancangan kota,” kata Anton saat dihubungi Republika, Kamis (6/6/2024).

Diketahui, angka backlog (kesenjangan ketersediaan) hingga akhir 2023 mencapai hingga 9,9 juta, berdasarkan data Kementerian PUPR. Hal itu terjadi karena tidak seimbangnya suplai dan demand, yang mana permintaan rumah melebihi ketersediaan. Tujuan Tapera sendiri diklaim untuk mengatasi backlog perumahan.

“Program-program mengatasi backlog itu banyak. Ini (Tapera) kan cuman aspek financing, belum kita bicara perencanaan kotanya, belum bicara ketersediaan lahannya,” tutur Anton.

Menurut pandangan Anton, spirit gotong-royong yang digadang-gadang tengah dibangun oleh Badan Pengelola (BP) Tapera melalui program Tapera ini menjadi tidak jelas. Terutama karena program tersebut turut mewajibkan pekerja swasta dan pekerja mandiri atau freelance. Hal itu dianggap justru memberatkan masyarakat, alih-alih memenuhi kebutuhan papan bagi masyarakat.

 

Ngomong soal gotong royong ya terserah, kalau diwajibkan bagi ASN, TNI, Polri ya silahkan. Ya mbok jangan libatkan swasta sama pekerja mandirinya,” tegasnya. 

 

Tidak semua orang mau punya rumah

Pengamat Properti Anton Sitorus mempertanyakan mengenai kewajiban bagi karyawan swasta dan pekerja mandiri atau freelance untuk menjadi peserta tabungan perumahan rakyat (Tapera). Pemerintah mestinya tidak menyertakan kalangan tersebut untuk diharuskan berpartisipasi dalam program yang berpolemik tersebut.

“Pekerja swasta sama pekerja mandiri enggak boleh diwajibkan. Kalau pegawai negeri, TNI, Polri, BUMN, BUMD terserahlah karena yang memberi pekerjaan kepada mereka kan negara, kalau negara bikin aturan ya silahkan saja. Tapi kalau pekerja swasta dan pekerja mandiri kan yang menggaji bukan negara, jadi logikanya dimana mereka harus diwajibkan,” kata Anton saat dihubungi Republika, Kamis (6/6/2024).

 

Anton menuturkan, jika program tersebut hanya diberlakukan untuk para ASN, TNI/ Polri, polemiknya tidak akan semeluas saat ini. Sebab ada tanggungan yang mestinya bukan menjadi kewajiban bagi pekerja swasta dan mandiri. Dia berharap masyarakat meninjau kembali tentang aturan tersebut.

Menurut Anton, tidak semua masyarakat menginginkan untuk memiliki rumah. Ada yang memilih untuk tinggal dengan cara sewa atau ngontrak, ada juga yang memilih tinggal bersama orang tua, dan sebagainya. Sehingga kebutuhan akan rumah tidak bisa disamakan dengan kebutuhan akan kesehatan sebagaimana diterapkan di BPJS.

Enggak bisa disamakan dengan kesehatan, kalau kesehatan orang sakit mau orang kaya maupun orang miskin ya emang butuh disembuhkan dan butuh biaya buat berobat,” tuturnya.

“Begitu juga dengan BPJS Ketenagakerjaan, orang kerja sewaktu-waktu kan berhenti, sewaktu-waktu pensiun, sewaktu-waktu bisa kena PHK, mereka butuh yang namanya jaminan untuk hidup. Kalau rumah kan bukan kebutuhan seperti itu, jadi enggak bisa disamain,” lanjutnya.

 

Anton menambahkan, tidak ada alasan yang jelas mengenai kenapa pekerja swasta dan pekerja mandiri diwajibkan. Hal itu mengingat sebelumnya pada Bapertarum-PNS ataupun FLPP hanya mewajibkan PNS, Polri, dan TNI. Tidak melibatkan karyawan dan perusahaan swasta serta pekerja mandiri. 

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement