REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Ancaman perubahan iklim adalah ancaman yang nyata, yang tidak boleh diabaikan. Kita tidak boleh terlambat mengantisipasi perubahan iklim. Terlambat atau salah mengantisipasi perubahan iklim akan memunculkan bencana yang harus ditanggung oleh anak cucu kita semua.
Menyadari besarnya ancaman perubahan iklim, para pemimpin dunia berupaya sedini mungkin untuk sepakat mengambil keputusan dan langkah bersama dalam mengantisipasi perubahan iklim. Kesepakatan monumental kemudian diambil di Paris pada tahun 2015. Kesepakatan Paris (Paris Agreement) merupakan kesepakatan 195 negara, termasuk negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Australia, untuk memitigasi risiko perubahan iklim.
Dalam Paris Agreement telah ditetapkan tujuan jangka panjang untuk menjaga peningkatan suhu rata-rata global di bawah 2°C dan mengupayakan membatasi kenaikan suhu hingga 1,5 derajat celcius. Komitmen setiap negara dalam Paris Agreement dituangkan dalam dokumen NDC bahwa setiap negara harus mampu mengupayakan pengurangan emisi nasional dan beradaptasi dengan dampak perubahan iklim.
Masih dalam semangat yang sama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) sebagai sebuah paket tujuan bersama untuk mengakhiri kemiskinan, melindungi planet, dan memastikan kemakmuran untuk semua orang.
Indonesia tentu saja tidak ingin ketinggalan. Pada tahun 2013, pemerintah Indonesia meluncurkan rencana aksi nasional untuk pembangunan berkelanjutan, yang mencakup 26 prioritas nasional dan 200 tindakan konkret untuk mencapai tujuan SDGs. Pemerintah Indonesia juga memulai berbagai inisiatif untuk mendukung tujuan SDGs, seperti program pengurangan kemiskinan, program pemulihan ekonomi berkelanjutan, dan program aksi iklim. Puncaknya, Indonesia ikut menandatangani Kesepakatan Paris dalam acara high-level Signature Ceremony for the Paris Agreement yang berlangsung di Markas Besar PBB, New York, Amerika Serikat, pada 22 April 2016.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai otoritas dari semua Lembaga keuangan di Indonesia memiliki peran yang besar dalam mendukung komitmen Pemerintah Indonesia memenuhi Kesepakatan Paris sekaligus mencapai tujuan SDGs. Dukungan OJK tersebut tertuang dalam Taksonomi Hijau Indonesia yang dikeluarkan oleh OJK pada awal 2022 dan telah direvisi pada tahun 2023. Taksonomi Hijau Indonesia adalah klasifikasi aktivitas ekonomi yang mendukung upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah Redjalam, menyatakan bahwa OJK memiliki posisi dan peran yang sangat strategis dalam mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan atau ekonomi hijau.
"Saya kira Taksonomi Hijau Indonesia adalah perwujudan kesadaran OJK akan posisinya yang sangat strategis dalam mewujudkan pembangunan ekonomi hijau di Indonesia. Melalui Taksonomi Hijau, OJK bisa mengarahkan lembaga-lembaga jasa keuangan khususnya perbankan dalam memahami dan mengklasifikasikan aktivitas hijau dalam portofolio produk dan/atau jasa keuangan yang mereka miliki," ungkap dia.
Lebih lanjut Piter menjelaskan bahwa Sektor Jasa Keuangan (SJK) berperan penting untuk mempercepat penerapan aktivitas ekonomi yang berdampak positif terhadap lingkungan dalam membangun perekonomian yang lebih tangguh. Sektor Jasa Keuangan tersebut membutuhkan pemahaman yang sama mengenai kategori kegiatan usaha yang mendukung ekonomi hijau. Disinilah peran penting Taksonomi Hijau (THI) yang disusun oleh OJK.
“Jadi dengan adanya Taksonomi Hijau, akan memberikan pemahaman yang lebih baik dan memudahkan bagi lembaga jasa keuangan dalam mengklasifikasikan aktivitas hijau dalam portofolio produk dan/atau jasa keuangan, serta dalam proses pemantauan berkala terhadap implementasi penyaluran kredit/pembiayaan/investasi ke sektor hijau dan mencegah potensi pelaporan aktivitas hijau yang kurang tepat (greenwashing)”.
Piter juga menambahkan bahwa taksonomi hijau juga dikeluarkan oleh otoritas keuangan di banyak negara. Artinya Langkah OJK mengeluarkan Taksonomi Hijau Indonesia telah sejalan dengan arah kebijakan industri keuangan global yang menjadikan taksonomi hijau sebagai salah satu prioritas kebijakan.
Revisi Taksonomi Hijau adalah upaya OJK untuk terus menyempurnakan kebijakannya. Taksonomi Hijau versi satu bisa dikatakan sebagai versi awal yang memperkenalkan klasifikasi aktivitas hijau. Dalam Taksonomi hijau versi terbaru, mulai ada focus pada permasalahan isu tertentu seperti ESG dan isu-isu transisi.
Dalam Taksonomi terbaru setiap sektor akan dikategorikan hijau, kuning dan merah. Hijau adalah kegiatan usaha yang melindungi, memperbaiki, dan meningkatkan kualitas atas perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, serta memitigasi dan mengadaptasi perubahan iklim dengan mematuhi standar tata kelola yang ditetapkan pemerintah dan menerapkan praktik terbaik di tingkat nasional maupun tingkat internasional. Kuning adalah kegiatan usaha yang memenuhi beberapa kriteria/ambang batas hijau. Penentuan manfaat kegiatan usaha ini terhadap perlindungan dan pengelolaan lingkungan masih harus ditetapkan melalui pengukuran serta dukungan praktik terbaik lainnya. Sementara merah adalah kegiatan usaha yang tidak memenuhi kriteria/ambang batas kuning dan/atau hijau.
Menurut Piter Abdullah, kegiatan-kegiatan usaha yang tidak masuk dalam kategori hijau akan kesulitan mendapatkan pendanaan dari SJK. Piter juga menyatakan bahwa dengan menimbang pentingnya THI bagi perkembangan perekonomian, maka THI kedepannya perlu dilengkapi dengan kriteria kuantitatif termasuk emisi karbon. Kategori THI juga perlu disesuaikan dari Hijau dan Kuning menjadi Hijau dan transisi. Artinya ada sektor tertentu yang melakukan proses transisi model bisnis agar dapat memenuhi kriteria hijau dan akan mendapat kemudahan pendanaan.
“OJK kan sudah menerbitkan aturan dan sudah meresmikan Bursa karbon. Ini menurut saya sangat sejalan dan akan saling melengkapi dengan revisi Taksonomi Hijau. Keduanya adalah bagian dari proses transisi sebuah Perusahaan memperbaiki batas emisi karbon”.
Sebagai penutup Piter menegaskan bahwa hadirnya taksonomi hijau dari OJK akan membantu mendorong industri melakukan transisi sehingga bisnisnya lebih ramah lingkungan.
“Pendanaan adalah salah satu aspek terpenting yang menentukan apakah sebuah bisnis dapat berkembang atau tidak. Untuk bisa mendapatkan pendanaan dan artinya bisa berkembang, industry harus mengikuti arahan yang sudah ditetapkan oleh OJK melalui taksonomi hijau. Kalau mereka tidak mau patuh, tidak mau peduli lingkungan mereka tidak bsa mendapatkan pendanaan”.