REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mengungkapkan terciptanya harga tiket pesawat juga dibutuhkan inovasi dari maskapai. Plt Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub Nur Isnin Istiartono mengharapkan maskapai dapat melakukan hal tersebut.
“Inovasi inilah yang kita harapkan sehingga walau diperkenankan ada fuel surcharge, rekan-rekan maskapai bisa menetapkan atau menurunkan harga tiket sehingga masih dapat terjangkau oleh masyarakat pengguna jasa,” kata Isnin kepada Republika, Senin (22/8/2022).
Saat ini Kemenhub sudah menerbitkan Keputusan Menteri Nomor 142 Tahun 2022 tentang Besaran Biaya Tambahan (Surcharge) yang Disebabkan Adanya Fluktuasi Bahan Bakar (Fuel Surcharge) Tarif Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri yang berlaku sejak 4 Agustus 2022. Besaran biaya tambahan untuk pesawat udara jenis jet paling tinggi 15 persen dari tarif batas atas sesuai kelompok pelayanan masing-masing maskapai.
Sementara pesawat udara jenis propeller paling tinggi 25 persen dari tarif batas atas sesuai kelompok pelayanan masing-masing maskapai. Penerapan pengenaan biaya tambahan tersebut bersifat pilihan bagi maskapai atau tidak bersifat mandatory.
Isnin menjelaskan dalam penentuan tarif batas atas (TBA) komponen terbesar adalah fuel atau bahan bakar. Lalu selanjutnya sewa pesawat dan perawatan termasuk spare parts yang mayoritas dibeli dalam mata uang asing.
“Dengan naiknya harga fuel tentu biaya operasi pesawat meningkat dan TBA tidak bisa menutup. Oleh karena itu regulator memperkenankan adanya fuel surcharge dalam batas tertentu yang sifatnya opsional,” tutur Isnin.
Artinya, kata dia, tambahan biaya tersebut dapat dipergunakan atau tidak diterapkan oleh masing-masing maskapai. Untuk itu, Isnin menegaskan maskapai memiliki kesempatan untuk melakukan inovasi seperti efisiensi dan meningkatkan tingkat keterisian pesawat.
Sebelumnya, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi memastikan Kemenhub secara intensif dan konsisten melakukan berbagai upaya untuk menstabilkan harga tiket pesawat. Hal tersebut dilakukan agar tidak menimbulkan inflasi yang tinggi.
Budi memastikan terus meningkatkan koordinasi dan kolaborasi dengan para pemangku kepentingan yakni Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN, Pemerintah Daerah, operator penerbangan, dan pihak terkait lainnya. Budi mengungkapkan ada tiga upaya utama yang dilakukan.
Pertama yakni, Kemenhun sudah meminta kepada maskapai penerbangan untuk melakukan upaya efisiensi dan inovasi. Hal tersebut dapat dilakukan untuk mengelola harga tiket pesawat lebih terjangkau.
“Melakukan efisiensi, memberikan diskon dan tarif yang lebih murah di waktu-waktu tertentu, dan inovasi-inovasi lainnya,” ucap Budi.
Upaya kedua yakni melakukan upaya bersama antara pemerintah daerah, maskapai, dan penumpang untuk memaksimalkan keterisian penumpang. Khususnya keterisian penumpang pada waktu-waktu tertentu.
“Di hari kerja, misalnya di hari Rabu pada siang hari, biasanya okupansi rata-rata hanya 50 persen. Maskapai harus mempromosikan diskon atau menurunkan harga karena demand yang rendah. Masyarakat bisa memanfaatkan waktu-waktu tersebut untuk mendapatkan tiket yang lebih murah,” jelas Budi.
Dengan begitu Budi menilai tingkat keterisian penumpang akan semakin meningkat dan harga tiketnya stabil. Lalu secara kumulatif pendapatan maskapai meningkat dan akan memberi ruang agar tidak mengenakan tarif batas atas pada waktu puncak.
Selanjutnya yaitu upaya meningkatkan peran pemerintah daerah untuk memberikan subsidi dengan cara melakukan block seat. Budi mengatakan pemerintah daerah dapat menjamin tingkat keterisian agar bisa lebih dari 60 persen.
“Contohnya yang dilakukan pemda di Toraja, Sulawesi Selatan. Mereka memberikan dukungan kepada maskapai sehingga tingkat keterisian bisa di atas 70 persen dan maskapai bisa terus melayani rute tersebut dengan harga yang terjangkau, karena kepastian okupansinya,” ungkap Budi.
Upaya yang ketiga yang dilakukan yaitu usulan dari stakeholder menghilangkan atau menurunkan pajak pertambahan nilai (PPN) avtur menjadi lima persen. Budi menegaskan avtur mempengaruhi biaya operasional penerbangan sekitar 40 persen khususnya untuk pesawat kecil seperti propeller yang melayani daerah-daerah pelosok.
“Kami akan mengusulkan kepada Kementerian Keuangan terkait hal ini. Kalau semua upaya ini bisa dilakukan, diharapkan dapat menstabilkan harga tiket antara 15-20 persen,” tutur Budi.