REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menegaskan peran strategis sektor transportasi dalam mendorong perekonomian masyarakat sekaligus menjaga keberlanjutan lingkungan. Direktur Angkutan Jalan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat (Ditjen Hubdat) Kemenhub, Muiz Thohir, menyampaikan bahwa percepatan pengembangan transportasi publik menjadi prioritas utama untuk menekan biaya transportasi dan emisi karbon.
“Untuk kota-kota menengah dan besar, menjadi fokus kita dikembangkan transportasi publik,” ujar Muiz dalam kegiatan press background bertema Transportasi Berkelanjutan untuk Masa Depan di Kantor Kementerian Perhubungan, Jakarta, Kamis (23/10/2025).
Muiz mengungkapkan, biaya transportasi masih menjadi beban signifikan bagi masyarakat. Berdasarkan data Kemenhub, sekitar 30 persen pendapatan masyarakat di Jabodetabek dihabiskan untuk biaya transportasi.
“Awal bulan lalu kami ke Samarinda, ada riset yang dilakukan Universitas Mulawarman. Bahkan di Samarinda itu sampai 50 persen pendapatan digunakan untuk transportasi karena memang di sana transportasi publik belum tersedia,” ucapnya.
Kondisi tersebut, menurut Muiz, menjadi tantangan bagi pemerintah dalam memperluas akses dan layanan transportasi publik. Ia menilai, tingginya ongkos transportasi tidak hanya menekan ekonomi rumah tangga, tetapi juga membebani keuangan negara karena subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang besar setiap tahunnya.
“Ketika pendapatan masyarakat banyak digunakan untuk transportasi, ini juga nanti larinya kan bagaimana kemiskinan dan seterusnya,” ujarnya.
Muiz menambahkan, Kemenhub terus berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk mendorong pemerintah daerah (pemda) memperhatikan pengembangan transportasi umum. Ia menyebut, Kemendagri sebagai pembina pemda memiliki peran penting dalam mendorong kepala daerah agar menyediakan akses transportasi publik yang memadai.
“Ini juga terkait dengan bagaimana alokasi anggaran yang akan dialokasikan oleh masing-masing pemerintahan daerah untuk transportasi publik,” katanya.
Lebih lanjut, Muiz menegaskan bahwa peralihan dari kendaraan pribadi ke transportasi publik merupakan bagian dari komitmen pemerintah mewujudkan sistem transportasi berkelanjutan. Sektor transportasi darat, kata dia, merupakan salah satu penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca (GRK).
“Emisi GRK sektor darat akibat penggunaan kendaraan bermotor. Jumlah kendaraan pribadi ini kita turunkan dengan angkutan umum, khususnya di wilayah perkotaan,” tutur Muiz.
Berdasarkan data Ditjen Hubdat, baru 35 pemerintah daerah yang memiliki inisiatif mengalokasikan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) untuk pembiayaan operasional angkutan umum. Rinciannya, terdiri atas 11 pemerintah provinsi, 15 pemerintah kota, dan sembilan pemerintah kabupaten.
Jumlah itu masih tergolong rendah dibandingkan total 514 pemerintah daerah di seluruh Indonesia yang meliputi 38 provinsi, 98 kota, dan 416 kabupaten.