REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Pertamina (Persero) memutuskan menaikan harga jual elpiji nonsubsidi menyusul kenaikan acuan CP Aramco yang mencapai 775 dolar AS per barel. Kondisi ini dinilai menunjukan pemerintah tak cakap dalam memitigasi kenaikan harga komoditas.
Anggota Komisi VII DPR RI Fraksi PKS, Mulyanto, menilai, kenaikan harga komoditas dalam hal ini kenaikan harga minyak mentah dan acuan LPG sudah terjadi sejak awal 2021. Namun, pemerintah selalu mengklaim dalam posisi aman.
Imbasnya, masyarakat menjadi korban dengan kenaikan harga. "Ini kan mencerminkan perhitungan yang kurang cermat dan tidak dimitigasi dengan baik," tambah Mulyanto, Senin (28/2/2022).
Kenaikan harga elpiji juga dikala kondisi masyarakat sedang masa pemulihan pandemi. Selain itu, kondisi hari ini banyak komoditas lain yang juga naik.
"Ini adalah kenaikan berturut-turut. Tak hanya elpiji tetapi juga harga sembako. Bertubi tubi. Baru dua bulan lalu harga LPG nonsubsidi naik," ujar Mulyanto.
Ia juga mengatakan kondisi ini akan memicu kenaikan inflasi yang juga akan turut mengerek harga sembako dan kebutuhan dasar masyarakat lainnya.
"Dugaan saya ini mempengaruhi inflasi kita. Daya beli masyarakat belum pulih. Pandemi belum berakhir. Omicron masih tinggi. Beban rakyat semakin bertambah," ujar Mulyanto.