Kamis 30 Dec 2021 18:05 WIB

Pakar Energi Sambut Wacana Penghapusan Premium dan Pertalite

Dampak lingkungan jadi pertimbangan penting penggunaan bahan bakar oktan tinggi

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Gita Amanda
Pengendara mengisi bahan bakar minyak (BBM) secara mandiri (self service) di SPBU Pertamina, Jalan Ir H Juanda, Kota Bandung, Kamis (23/12). Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kembali mengemukakan rencana penghapusan bahan bakar minyak (BBM) jenis Premium dan Pertalite. Nantinya, hanya akan ada BBM dengan kadar oktan (Research Octane Number/Ron) di atas 91 seperti Pertamax, Pertamax Turbo dan lainnya yang dinilai lebih ramah lingkungan. Foto: Republika/Abdan Syakura
Foto: REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA
Pengendara mengisi bahan bakar minyak (BBM) secara mandiri (self service) di SPBU Pertamina, Jalan Ir H Juanda, Kota Bandung, Kamis (23/12). Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kembali mengemukakan rencana penghapusan bahan bakar minyak (BBM) jenis Premium dan Pertalite. Nantinya, hanya akan ada BBM dengan kadar oktan (Research Octane Number/Ron) di atas 91 seperti Pertamax, Pertamax Turbo dan lainnya yang dinilai lebih ramah lingkungan. Foto: Republika/Abdan Syakura

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Kepala Pusat Studi Energi UGM, Prof Deendarlianto, menyambut wacana penghapusan bahan bakar Premium dan Pertalite. Dampak lingkungan jadi salah satu pertimbangan penting mendorong konsumsi bahan bakar bernilai oktan lebih tinggi.

Ia melihat, rencana kebijakan ini sejalan upaya-upaya pemerintah mengurangi emisi, termasuk dalam sektor transportasi. Jika mengacu perencanaan energi nasional ke depan, Deendarlianto merasa, rencana penghapusan itu cukup baik.

Baca Juga

Pemerintah sendiri dikabarkan akan mengeluarkan kebijakan penghapusan BBM Premium pada 2022. Selain itu, dikabarkan mulai mendorong peralihan menuju konsumsi bahan bakar oktan lebih tinggi, Pertamax, yang lebih ramah lingkungan.

"Itu perlu disosialisasikan dan didukung bersama semua komponen masyarakat," kata Deendarlianto, Kamis (30/12).

Deendarlianto menuturkan, proses transisi menuju konsumsi bahan bakar yang lebih ramah lingkungan sebenarnya telah dimulai sejak peluncuran Pertalite pada 2015. Masyarakat sudah digiring berganti dari Premium ke Pertalite, dan itu berhasil.

Ia melihat, orang-orang mulai sadar akan pengaruh terhadap mesin dan pengaruh terhadap lingkungan yang semakin menjadi pertimbangan. Dilihat dari struktur penjualan BBM, kata Deendarlianto, pengguna Premium semakin lama berkurang.

"Seiring meningkat kesadaran masyarakat menggunakan BBM yang lebih berkualitas," ujar Deendarlianto.

Masyarakat kelas ekonomi menengah telah lama beralih dari Premium ke Pertalite, bahkan pelan-pelan mulai bergeser ke Pertamax. Hal ini menjadi indikasi kalau masyarakat telah siap menghadapi rencana penghapusan Premium dalam waktu dekat.

Bisa dibilang, lanjut Deendarlianto, hampir dominan di kendaraan roda empat menggunakan Pertalite. Sehingga, jika ingin menghentikan Premium dalam waktu enam bulan waktu transisinya sudah cukup untuk membawa masyarakat ke sana.

Deendarlianto memaparkan data konsumsi energi di Indonesia, yang mana 39 persen energi masih berbasis minyak dan 64 persen untuk transportasi. Malah, 90 persen konsumsi energi sektor transportasi untuk transportasi darat atau jalan raya.

"Meski rencana penghapusan BBM jenis Premium tepat, konsumen utama yang berasal dari kalangan menengah ke bawah perlu mendapat perhatian," kata Deendarlianto.

Ia menyayangkan, fenomena konsumsi premium sebagian masyarakat kalangan menengah yang seharusnya tidak perlu subsidi. Sejalan transisi energi dan demi tercapai subsidi energi tepat sasaran, subsidi perlu diberikan kepada orang.

Artinya, subsidi tidak diberikan ke produk tertentu. Sebab, ia menambahkan, selama ini yang mendapat subsidi bukan orangnya, tapi barangnya. Karenanya, Deendarlianto menyambut baik rencana penghapusan bahan bakar jenis premium.

"Dengan penghilangan Premium ke depan, metode subsidi yang diberikan terhadap masyarakat kemampuan ekonomi rendah bisa dengan pemberian subsidi ke orangnya," ujar Deendarlianto.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement