Kamis 10 Oct 2024 19:25 WIB

PT Kilang Pertamina Internasional Kembangkan Fasilitas Produksi BBM Ramah Lingkungan

Pemerintah menetapkan target net zero emission pada 2060 atau lebih cepat.

Rep: Frederikus Bata/ Red: Mas Alamil Huda
Petugas beraktivitas di PT Kilang Pertamina Internasional RU 7 Kasim, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat Daya, Senin (16/9/2024).
Foto: Republika/Friska
Petugas beraktivitas di PT Kilang Pertamina Internasional RU 7 Kasim, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat Daya, Senin (16/9/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) menegaskan kesiapannya dalam mendukung program pemerintah untuk mengurangi emisi karbon. Seperti diketahui, pemerintah menetapkan target net zero emission pada 2060 atau lebih cepat.

Semua sektor diarahkan demi memenuhi hal itu, termasuk Pertamina dan seluruh anak usahanya. PT KPI mengembangkan fasilitas produksi BBM ramah lingkungan dari green refinery. Ini telah dimasukkan dalam Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) untuk NZE itu.

Baca Juga

Direktur Utama KPI, Taufik Aditiyawarman mengatakan, dalam RJPP perusahaan, dicanangkan pembangunan fasilitas produksi BBM ramah lingkungan atau green refinery. Sejumlah proyek kilang ramah lingkungan sedang berjalan, termasuk pengembangan kilang Cilacap Tahap dua yang diproyeksikan pada 2027 dengan kapasitas produksi enam ribu barel Hydrotreated Vegetable Oil (HVO) per hari (bph). Adapun Tahap satu telah selesai dengan kapasitas tiga ribu barel. Secara keseluruhan Kilang Cilacap merupakan salah satu kilang terbesar Pertamina dengan kapasitas pengolahan 348 ribu barel per hari.

Kemudian Kilang Plaju ditargetkan rampung pada 2030 dengan kapasitas pengolahan biofuels 20 ribu bph. Kilang Dumai pada 2031 dengan kapasitas 30 ribu bph. "Lalu Kilang Balikpapan pada 2034 dengan kapasitas 30 ribu bph,” kata Taufik dalam diskusi Brunch Talk bertajuk "Decarbonizing the Future: The Role of Green Fuel in Reducing Emissions" yang diselenggarakan oleh Editor Energy Society (E2S) di The Grand Mansions Menteng, Jakarta, Kamis (10/10/2024).

Ia menjelaskan, KPI juga sudah siap menjalankan program pemerintah jika diberikan mandat untuk meluncurkan produk BBM solar dengan kadar sulfur rendah. Kilang Balongan saat ini memproduksi BBM dengan kadar sulfur 10 ppm.

KPI siap produksi diesel dengan produk low sulphur 10 ppm dari Balongan. Kilang lainnya masih bervariasi. Namun, pada tahun depan, kilang Balikpapan akan mulai beroperasi dan mampu memproduksi BBM EURO 5 dengan kadar sulfur 10 ppm, baik untuk gasoline maupun diesel.

"Ini akan meningkatkan kapasitas untuk memenuhi kebutuhan di wilayah Jawa dan Kalimantan," ujar Taufik.

Saat ini, KPI mampu memproduksi biofuel melalui beberapa metode. Salah satunya melalui co-processing bahan baku nabati yang dicampur dengan conventional feedstock pada existing process. Proses ini dilalui untuk memproduksi Sustainable Aviation Fuel (SAF). "Kami melakukan modifikasi unit THDT untuk coprocessing SAF di Kilang Cilacap dengan kapasitas 9 ribu bph."

Dalam memproduksi biofuel, KPI juga melakukan pengolahan bahan baku nabati (CPO Based) dengan komposisi 100 persen yang seluruhnya menjadi feedstock (Refined Bleached Deodorized Palm Oil/ RBDPO). Ini dilakukan untuk memproduksi green diesel atau B100. "HVO dari kilang Cilacap merupakan konversi dari feedstock RDBPO, khususnya produk renewable diesel 100 persen atau B100 dengan kapasitas tiga ribu bph," kata Taufik.

Peneliti Senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Arie Rachmadi menjelaskan penggunaan biofuel salah satu cara terbaik untuk bisa menekan emisi yang selama ini banyak dihasilkan oleh kendaraan. Indonesia berada di jalur yang tepat dengan keberhasilan program biodiesel, sejalan dengan tren global yang semakin mengarah pada penggunaan biofuel. "Salah satu fokus yang harusnya bisa dikejar adalah penggunaan gasoline ramah lingkungan karena konsumsi terbesar ada di bensin gasoline," ujar Ari.

Direktur Eksekutif Center for Energy Security Studies (CESS), Ali Ahmudi Achyak menyebut tantangan terbesar untuk bisa mendorong program biofuel, selain pasokan bahan baku adalah harganya yang masih tinggi. Ini dinilai wajar karena energi baru terbarukan (EBT) masih dianggap energi mahal. Itu karena penggunaannya tidak sebanyak energi fosil. Untuk itu penetrasi dan dukungan dari pemerintah menjadi krusial.

"Harus ada kemauan baik dari pemerintah caranya dengan memberikan insentif untuk memastikan ketersediaan feedstock. Feed in tariff harus dikeluarkan," tutur Ali.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement