REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Rencana pemerintah untuk menaikkan tarif ojek daring (ojol) sekitar 8—15 persen diprediksi akan menimbulkan efek domino. Kenaikan tarif dinilai bakal membebani konsumen dan berpotensi mendorong mereka beralih ke transportasi pribadi, yang pada akhirnya meningkatkan tingkat kemacetan jalanan.
Peneliti Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS), Muhammad Anwar, mengatakan bahwa kebijakan kenaikan tarif ojol terkesan melempar "bola panas" kepada konsumen alih-alih menyasar penyedia layanan atau aplikator.
“Kami tidak memahami bagaimana rasionalisasinya. Yang pasti, berdasarkan rilis pemerintah, kebijakan ini untuk menjaga keberlangsungan ekosistem. Tapi ekosistem seperti apa yang akan dijaga bila dengan kenaikan tarif ini justru memberatkan pengguna layanan?” kata Anwar dalam keterangannya, Jumat (4/7/2025).
Anwar menjelaskan, ketika tarif ojol naik, setidaknya ada tiga kemungkinan respons dari pengguna layanan. Pertama, tetap menggunakan layanan dengan menerima kenaikan biaya.
“Kedua, beralih ke transportasi pribadi, yang justru berpotensi memperparah kemacetan,” ujarnya.
Adapun opsi ketiga adalah berpindah ke transportasi umum. Namun, kata Anwar, di tengah keterbatasan layanan transportasi publik yang nyaman dan tepat waktu, masyarakat cenderung tetap memilih ojol dibanding harus berdesak-desakan di transportasi massal yang padat dan tidak fleksibel.
“Ketika tarif naik, masyarakat sebenarnya berada dalam posisi sulit. Mereka terpaksa membayar lebih mahal karena tidak ada pilihan transportasi yang lebih baik,” jelasnya.