REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Asosiasi Transportasi Udara Internasional atau International Air Transport Association (IATA) memperkirakan kerugian yang akan dialami maskapai dunia pada 2020 hingga 2021 mencapai 157 miliar dolar AS atau sekitar Rp 2.229,4 triliun (kurs Rp 14.200 per dolar AS). IATA memperkirakan rekor kerugian maskapai akibat pandemi Covid-19 akan terus meningkat hingga 2021 karena program vaksinasi yang dikembangkan masih membutuhkan waktu.
“Buku sejarah akan mencatat 2020 sebagai tahun keuangan terburuk di industri penerbangan. Kerugian yang diperkirakan tahun depan meskipun lebih rendah namun akan menjadi yang terburuk kedua yang pernah ada,” kata Chief Executive Officer IATA Alexandre de Juniac dikutip dari Bloomberg, Selasa (24/11).
IATA memperkirakan bahwa operator penerbangan akan kehilangan hampir 39 miliar dolar AS pada 2021. Kerugian tersebut terjadi di atas defisit senilai 118,5 miliar dolar AS pada 2020.
Perkiraan tersebut muncul ketika maskapai berharap peluncuran vaksinasi Covid-19 pada 2021 akan membuat pemerintah untuk melonggarkan pembatasan perjalanan. De Juniac mengatakan industri penerbangan tidak akan menghasilkan pendapatan yang positif hingga kuartal keempat 2021. De Juniac mendorong agar perbatasan penerbangan dibuka kembali mulai sekarang dan anpa karantina.
Mantan CEO British Airways Willie Walsh juga mengkritik negara-negara karena memberlakukan pembatasan perjalanan. “Kami tahu mereka ingin terbang. Pemerintah tertentu yang gagal mengadopsi langkah-langkah akan memungkinkan layanan untuk dilanjutkan,” jelas Walsh.
Kekhawatiran juga muncul maskapai akan kehabisan uang sebelum vaksin selesai dikembangkan. Kepala Ekonom IATA Brian Pearce mengatakan maskapai hanya memiliki cadangan selama 8,5 bulan. Maskapai di negara berkembang di mana vaksin mungkin tidak tersedia hingga tahun 2022 adalah yang paling rentan.
IATA mencatat, pendapatan industri penerbangan kemungkinan akan turun setengah triliun dolar pada 2020 menjadi 328 miliar dolar AS. Hal tersebut terjadi karena penurunan jumlah wisatawan hingga 61 persen.
“Trafik penumpang secara keseluruhan tidak mungkin mencapai tingkat sebelum pandemi hingga 2024,” tutur Pearce.