Jumat 01 Aug 2025 10:02 WIB

Industri Penerbangan Nasional Belum Pulih, Inaca Beberkan Alasannya

Ada sejumlah tantangan yang dihadapi penerbangan nasional.

Rep: Muhammad Nursyamsi/ Red: Satria K Yudha
Seorang petugas berjalan menuju gerbang keberangkatan di Bandara Dhoho Kediri, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, Rabu (18/6/2025). Bandara berstandar internasional tersebut dipastikan akan mengalami kekosongan penerbangan hingga 31 Juli 2025 karena maskapai Citilink yang merupakan maskapai satu-satunya yang beroperasi di bandara Dhoho Kediri sedang dalam masa pemeliharaan dan perbaikan.
Foto: ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani
Seorang petugas berjalan menuju gerbang keberangkatan di Bandara Dhoho Kediri, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, Rabu (18/6/2025). Bandara berstandar internasional tersebut dipastikan akan mengalami kekosongan penerbangan hingga 31 Juli 2025 karena maskapai Citilink yang merupakan maskapai satu-satunya yang beroperasi di bandara Dhoho Kediri sedang dalam masa pemeliharaan dan perbaikan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ketua Umum Indonesia National Air Carriers Association (INACA) atau Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia, Denon Prawiraatmadja, menyebut bahwa industri penerbangan nasional masih menghadapi banyak tantangan. Denon mengatakan, memanasnya geopolitik global mengganggu rantai pasok dan suku cadang pesawat, serta harga minyak dan kurs rupiah terhadap dolar AS yang cenderung meningkat.

“Di dalam negeri, dampak pandemi Covid-19, kebijakan pemerintah, serta iklim usaha yang diwarnai persaingan bisnis tajam juga membuat industri penerbangan belum kembali seperti sebelum pandemi Covid-19,” ujar Denon dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (1/8/2025).

Baca Juga

Denon mengatakan, hal ini mengakibatkan jumlah penumpang domestik penerbangan berjadwal selama 2024 stagnan dibandingkan 2023. Selain itu, jumlah pesawat juga turun karena banyak yang masuk perawatan MRO dan mengalami kesulitan dalam mendapatkan suku cadang.

Denon menyampaikan bahwa sejumlah tantangan penerbangan nasional meliputi regulasi yang kurang fleksibel, risiko nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, pengadaan suku cadang, hubungan dengan pengelola bandara dan AirNav, masalah operasional penerbangan tidak berjadwal (terbang malam, terbang khusus, air ambulance), serta illegal charter (penerbangan carter ilegal).

Denon menilai perlunya langkah strategis jangka pendek, menengah, dan panjang agar tantangan ini bisa segera teratasi dan industri penerbangan pulih seperti sebelum pandemi Covid-19.

“Inaca berharap adanya pembahasan permasalahan industri penerbangan secara holistik dan komprehensif, serta peningkatan kondisi finansial maskapai penerbangan melalui regulasi operasional bisnis penerbangan yang lebih adil,” ucap Denon.

Denon mengatakan, Inaca juga mendorong pemerintah menyelenggarakan konektivitas penerbangan secara komprehensif dengan sistem hub and spoke yang baik, melakukan deregulasi terkait proses ekspor-impor suku cadang, serta meningkatkan implementasi safety management system (SMS) dan penguatan budaya keselamatan (safety culture) dalam operasional penerbangan.

Inaca, lanjut Denon, juga mendorong dibentuknya Dewan Transportasi yang bekerja sama dengan moda transportasi lain dan pemangku kepentingan terkait untuk mengembangkan transportasi multimoda dalam rangka mendukung pertumbuhan perekonomian nasional.

“Pengembangan sektor penerbangan yang strategis juga dapat meningkatkan aksesibilitas domestik, regional, dan internasional, mendorong mobilitas ekonomi nasional, serta memberikan nilai tambah bagi negara,” kata Denon.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement