Selasa 01 Sep 2020 06:37 WIB

Risiko Kredit Macet Makin Mengintai Bank Besar China

Lima bank milik negara China melaporkan penurunan keuntungan terbesar.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Bank Sentral Cina. ilustrasi
Bank Sentral Cina. ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING – Bank-bank terbesar milik negara di China siap menghadapi peningkatan kredit macet dan tekanan margin pada bulan-bulan mendatang. Kebijakan forbearance  (penahanan) yang dirancang untuk memberikan sedikit ruang bernapas bagi debitur selama krisis Covid-19 menjadi penyebab utamanya.

Seperti dilansir di Reuters, Senin (31/8), lima bank milik negara melaporkan penurunan keuntungan terbesar untuk setidaknya selama satu dekade terakhir. Guna mengatasi kerugian yang diprediksi akan meningkat seiring dengan pertumbuhan kredit macet, banyak bank milik negara China telah menaikkan provisi.

Baca Juga

Menurut data China International Capital Corp (CIPP), secara keseluruhan, bank komersial China mencatatkan penurunan laba bersih 9,4 persen pada semester pertama, menjadi 1 triliun yuan. Pada akhir kuartal kedua, rasio kredit bermasalah rata-rata bank umum berada pada level 1,94 persen yang sekaligus menjadi tertinggi sejak 2009.

Salah satu peningkatan NPL tertinggi terjadi pada ICBC. Pada Juni, tingkat NPL ICBC berada pada level 1,5 persen, dari 1,43 persen pada bulan sebelumnya. Sementara itu CCB meningkat 0,07 poin persentase pada kuartal kedua menjadi 1,49 persen.

 

Presiden Bank of China Wang Jiang menjelaskan, tantangan bagi perbankan pada semester kedua akan sangat signifikan. “Belum pernah terjadi sebelumnya,” tuturnya.

Prediksi Jiang disampaikan dengan melihat dampak pandemi dan perlambatan ekonomi pada bank-bank China. Mereka terus diminta oleh pemerintahan untuk meningkatkan dan memberikan pinjaman kepada sektor-sektor usaha yang lesu, sambil mengorbankan keuntungan dalam upaya menghidupkan kembali ekonomi negara.

Di sisi lain, para peminjam juga terus berjuang untuk membayar hutang setelah menghadapi lockdown selama berbulan-bulan. Beberapa sektor, seperti industri travel, berjuang bertahan hidup di bawah bayang-bayang virus corona.

Data dari CICC menunjukkan, provisi kerugian pinjaman di empat dari lima bank milik negara pada kuartal kedua naik 61 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu,  menjadi 436 persen.

Empat bank tersebut adalah Industrial and Commercial Bank of China (ICBC), Agricultural Bank of China (AgBank), China Construction Bank Corp dan Bank of China.

Chief Risk Officer CCB Jin Yanmin mengatakan, kebijakan penahanan yang membantu dunia usaha untuk pulih menjadi faktor penentu utama kinerja perbankan. “Karena (kebijakan) berakhir pada tahun depan, dampak dari kredit bermasalah akan meningkat,” ujarnya, saat jumpa pers.

Sementara itu, Wakil Presiden CCB Ji Zhihong memperkirakan, margin bunga bersih dan indikator profitabilitas utama akan semakin menyempit.

ICBC, pemberi pinjaman komersial terbesar di dunia berdasarkan aset, akan menghadapi tekanan yang lebih tinggi pada pengendalian risiko pinjaman di paruh kedua. Wakil Presiden ICBC Liao Lin menjelaskan, kondisi tersebut memungkinkan perbankan meningkatkan provisi untuk mencegah turbulensi yang signifikan.

Analis Everbright Securities Wang Yifeng mengatakan, langkah ICBC akan diikuti banyak bank, terutama pada kuartal ketiga.

Analis Layanan Investor Moody Nicholas Zhu mengatakan, perubahan perilaku konsumen dan perombakan industri yang dipercepat akibat pandemi akan berdampak ketidakpastian pada perekonomian.

Pada paruh kedua dan awal 2021, Zhu berharap, bank-bank besar bisa meningkatkan penjualan obligasi modal. Tujuannya, membantu mereka dalam menghadapi kualitas aset yang memburuk.

Moody memperkirakan, bank terbesar di China masih akan kekurangan 500 miliar dolar AS pada 2025 untuk memenuhi persyaratan modal global.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement