Selasa 10 Jun 2025 16:14 WIB

NPL Naik Jadi 2,24 Persen, Ekonom Kritisi Tren Perlambatan Penyaluran Kredit

Ekonom mengkritisi tren perlambatan penyaluran kredit.

Rep: Eva Rianti/ Red: Ahmad Fikri Noor
Ilustrasi geliat pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Foto: Republika/Prayogi
Ilustrasi geliat pertumbuhan ekonomi Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Angka kredit macet atau non-performing loan (NPL) secara nasional naik dari 2,08 persen pada akhir 2024 menjadi 2,24 persen per April 2025. Ekonom mengkritisi tren perlambatan penyaluran kredit seiring kondisi melemahnya daya beli masyarakat.

“Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan memang belum menyatakan darurat, tetapi data yang ada jelas menunjukkan tren yang harus diperhatikan dengan sangat serius. Walau tampak kecil secara persentase, tren ini terjadi bersamaan dengan perlambatan penyaluran kredit,” kata ekonom dan pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, dalam keterangannya, dikutip Selasa (10/6/2025).

Baca Juga

Achmad mengatakan, naiknya angka kredit macet NPL tersebut memunculkan pertanyaan mengenai ketidakmampuan masyarakat dalam membayar utangnya. Kondisi itu dinilai sebagai permasalahan yang cukup urgent untuk ditangani.

“Itu pertanyaan sederhana namun sangat mendesak hari ini, di tengah ancaman PHK massal, melambatnya pertumbuhan ekonomi, serta janji pekerjaan yang belum kunjung terealisasi. Satu per satu rumah tangga mulai goyah, yang awalnya mampu membayar cicilan, kini mulai tersendat, usaha kecil yang dulunya produktif, kini terseok karena pasar yang lesu,” ujarnya.

Menurutnya, kondisi ketika bank lebih berhati-hati menyalurkan kredit pun, kemampuan bayar debitur tetap memburuk.

Ekonomi Macet

Achmad menilai, kekuatan dari sistem keuangan di antaranya adalah pendapatan masyarakat. Ketika masyarakat memiliki pendapatan stabil, kredit menjadi alat bantu percepatan.

Di antaranya untuk membeli rumah, mengembangkan usaha, dan membiayai pendidikan. Ketika pendapatan menurun dan pekerjaan hilang—di tengah badai PHK—kredit yang dulu membantu berubah menjadi beban.

“Inilah yang sedang terjadi. Segmen kredit UMKM, yang menyerap hampir seluruh lapangan kerja nonformal Indonesia, menunjukkan NPL stagnan tinggi sekitar 4 persen selama setahun terakhir,” kata dia.

Diketahui, per Maret 2025, NPL UMKM mencapai 4,14 persen, tertinggi pada segmen menengah yang mencapai 5,19 persen. Achmad menyebut, angka tersebut mengindikasikan betapa rentannya pelaku usaha produktif skala kecil-menengah terhadap perubahan makroekonomi yang tidak bisa mereka kendalikan.

Di sisi lain, kredit rumah tangga yang selama ini dianggap stabil mulai terguncang. NPL rumah tangga meningkat dari 1,99 persen menjadi 2,33 persen dalam setahun.

Kemudian, lanjutnya, yang paling mengkhawatirkan, NPL Kredit Pemilikan Rumah (KPR) melonjak menjadi 3,07 persen. Ini bukan sekadar angka. Ini adalah tanda bahwa masyarakat kelas menengah mulai kesulitan menjaga kepemilikan aset paling mendasarnya yakniw rumah.

“Ketika rumah pun terancam karena cicilan yang tak terbayar, maka ekonomi rakyat benar-benar sedang berada di ambang krisis martabat,” ujar dia.

Achmad menekankan, ekonomi Indonesia memang sedang mengalami tekanan dari dua sisi sekaligus, yakni dari sisi produksi dan konsumsi. Dari sisi produksi, banyak sektor usaha, khususnya UMKM dan industri padat karya, mengalami penurunan permintaan. Pasar lesu, permintaan ekspor terbatas, dan persaingan dari produk luar negeri meningkat tajam tanpa proteksi berarti. Usaha menengah terpukul keras karena tidak mendapat insentif fiskal sebaik perusahaan besar.

Dari sisi konsumsi, rumah tangga menghadapi inflasi kebutuhan pokok, kenaikan biaya pendidikan dan transportasi, namun pendapatan stagnan. Sementara itu, ketidakpastian kerja akibat PHK atau kontrak yang tidak diperpanjang membuat masyarakat tidak berani berutang lebih jauh.

“Sebagian besar masyarakat bahkan harus menggunakan tabungan untuk bertahan, dan ketika tabungan habis, utang pun menumpuk. Inilah bom waktu yang sedang berdetak. Ketika pendapatan menyusut dan utang bertambah, maka kemampuan bayar akan jatuh. Ketika banyak yang jatuh bersamaan, sistem perbankan mulai goyah,” jelasnya.

Achmad menekankan, naiknya NPL tidak hanya berdampak pada bank secara teknis, tetapi berpotensi menciptakan risiko sistemik yang menyebar ke seluruh sektor ekonomi.

Jika kualitas kredit terus memburuk, perbankan akan memperketat penyaluran kredit. Ketika kredit dipersempit, dunia usaha kekurangan likuiditas. Akibatnya, investasi tertunda, ekspansi usaha terhenti, dan lapangan kerja tidak tumbuh.

“Ekonomi macet karena aliran darahnya, yakni kredit—tersumbat. Lebih jauh lagi, jika NPL rumah tangga terus meningkat, maka konsumsi domestik—penopang utama PDB Indonesia—akan anjlok,” tuturnya.

Menurutnya, di situlah krisis sosial bisa mulai terbentuk. Ketika rumah tangga kehilangan tempat tinggal karena gagal bayar KPR, atau ketika usaha keluarga gulung tikar dan terjebak utang, maka bukan hanya keuangan yang kolaps, tetapi juga rasa aman sosial.

Dengan kondisi seperti itu, Achmad menilai masalah tersebut tidak bisa dibiarkan berjalan seperti biasa. Dibutuhkan keberanian pemerintah dan dunia perbankan untuk bertindak lebih proaktif dan berpihak.

Perbankan dinilai perlu menyesuaikan model bisnisnya dengan kenyataan sosial. Tidak bisa lagi sekadar mengandalkan jaminan atau skor kredit konvensional.

“Bank harus turun langsung ke lapangan, memahami usaha kecil dan rumah tangga yang sedang kesulitan, dan menawarkan skema yang lebih manusiawi: penjadwalan ulang, penurunan bunga, bahkan penghapusan sebagian bunga berjalan,” ujarnya.

“Pemerintah harus hadir bukan sebagai komentator, tetapi sebagai penjamin kepercayaan,” lanjutnya.

Lebih lanjut, menurutnya subsidi bunga untuk kredit mikro harus digulirkan kembali, khususnya untuk sektor produktif rakyat. Bantuan sosial perlu dihubungkan dengan perlindungan utang rumah tangga agar keluarga tidak tergelincir menjadi miskin permanen hanya karena gagal membayar cicilan.

Negara juga harus melibatkan BUMN dan BUMD untuk menyerap produk UMKM, menciptakan pasar yang pasti agar usaha kecil tetap bisa hidup dan membayar kreditnya.

“Selain itu, regulasi keuangan harus diarahkan untuk mendorong inklusi. Fintech dan bank digital tidak boleh hanya menyasar segmen konsumtif dengan bunga tinggi, tetapi harus diarahkan untuk mendukung pinjaman produktif dengan bunga rendah dan risiko terkendali,” terangnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement