REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pertanian menyatakan akan menyediakan cadangan pupuk sebanyak 10 persen dari total kebutuhan nasional sebagai antisipasi kekurangan di lapangan. Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah, meminta pemerintah untuk memperketat peredaran pupuk cadangan tersebut.
Said menjelaskan, mekanisme penyimpanan dan distribusi pupuk cadangan itu mesti diperhatikan dan diawasi ketat. Pasalnya, rawan terjadi penyelewengan penjualan pupuk cadangan tersebut yang merugikan negara.
Apalagi, jumlah 10 persen dari kebutuhan nasional cukup besar. Jika mengacu pada alokasi resmi saat ini sebesar 7,9 juta ton, maka cadangan pupuk 10 persen setara 790 ribu ton.
"Itu jumlah yang besar dan itu ada di lini berapa? Harus diwaspadai, posisi dan mekanisme penggunannya," kata Said, Selasa (25/2).
Lebih lanjut, Said mengatakan perlu pada keterlibatan petani yang lebih besar dalam penyusunan RDKK sebagai syarat mendapatkan pupuk. Ia menyebut, selama ini banyak terdapat RDKK yang disusun secara sepihak oleh penyuluh pertanian dengan perkiraan.
Hal itu membuat penyediaan pupuk tidak sesuai dengan kebutuhan. Alhasil, kebijakan pupuk bersubsidi kurang memberikan dampak positif bagi petani maupun hasil pertanian.
"Harusnya memang sekarang pengelolaan dan penghimpunan data melibatkan partisipasi petani secara aktif. Pengadaan dan proses distribusi harus lebih akurat," ujar dia.
Ia pun menyinggung soal adanya kurang bayar pemerintah kepada PT Pupuk Indonesia (Persero) sebagai penyedia pupuk. Menurut dia, utang pemerintah harus segera dibayar karena berpengaruh kepada kinerja PT Pupuk Indonesia. Beban yang diberikan kepada produsen mesti segera diatasi agar kegiatan produksi pupuk bisa berkelanjutan.