REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam menyikapi menurunnya globalisasi dan meningkatnya digitalisasi, Bank Sentral 4.0 merupakan salah satu strategi Bank Indonesia (BI) dalam mendorong inovasi dalam ekonomi dan keuangan digital di Indonesia. Kehadiran Bank Sentral 4.0 ini diharapkan bisa memperkuat daya saing dan kepentingan nasional serta mempersempit kesenjangan masyarakat.
"Sebagai dukungan BI dalam integrasi ekonomi dan keuangan digital secara nasional, BI telah menyusun arah kebijakan Sistem Pembayaran Indonesia ke depan melalui peluncuran Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia 2025: Menavigasi Sistem Pembayaran Nasional di Era Digital," ujar Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo dalam kuliah umum di London School of Economics (LSE), London, Inggris, Selasa (11/2) lalu
Dalam kesempatan tersebut Gubernur BI memberikan kuliah umum dengan tema “Diminishing Globalisation & Rising Digitalisation: Central Bank Policy Responses”. Agenda tersebut dimoderatori oleh Prof Hyun Bang Shin, Direktur dari Saw Swee Hock Souteast Asia Centre (SEAC)-LSE yang kali ini menjadi tuan rumah kuliah umum.
Acara tersebut dihadiri oleh berbagai kalangan akademisi dan praktisi keuangan di London. Dalam kesempatan tersebut, Gubernur BI juga menyampaikan bahwa sinergi bauran kebijakan moneter dan stabilitas sistem keuangan akan terus diperkuat untuk mendukung ketahanan ekonomi nasional.
Menurut Perry, perang dagang antara AS dan China, dan kebijakan perdagangan global lainnya yang mencirikan tren penurunan globalisasi telah berdampak pada volume perdagangan dunia dan pertumbuhan ekonomi global. Di sisi lain, sambungnya, digitalisasi ekonomi dan keuangan telah merambah ke berbagai segmen ekonomi.
"Ekonomi dan keuangan digital berkembang secara pesat dalam berbagai bentuk layanan keuangan fintech maupun layanan keuangan digital unbundling di luar bank maupun lembaga keuangan lainnya yang dapat berpotensi menciptakan shadow banking," paparnya.
Hal tersebut, ungkap Perry, juga turut berdampak pada longgarnya mekanisme transmisi moneter, dan meningkatnya risiko terhadap stabilitas moneter dan keuangan. Selain itu, kata dia, perilaku pelaku ekonomi juga telah berubah terutama didorong oleh generasi milenial.
"Dua hal tersebut menjadi tantangan bagi bank sentral dalam memberikan respons guna menjaga stabilitas perekonomian," ujar Perry.