REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- CEO Eramet Indonesia Jerome Baudelet mengatakan industri nikel menghadapi tantangan terkait perubahan sistem penerbitan persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) mineral dan batu bara. Jika sebelumnya RKAB berlaku untuk masa produksi tiga tahun, kini aturan tersebut kembali diubah menjadi satu tahun.
“Beberapa saat yang lalu, aturan RKAB direvisi lagi ke satu tahun. Kami tentu menerimanya, tetapi ada kesulitan dalam perencanaan,” ucap Jerome dalam Eramet Journalist Class di Jakarta, Senin (18/8/2025).
Ia menjelaskan, ketika RKAB diterbitkan untuk masa produksi tiga tahun, perusahaan dapat merencanakan pengembangan pertambangan untuk jangka panjang. Oleh karena itu, pengusaha menyambut baik ketika pemerintah menetapkan aturan RKAB tiga tahun. Namun, ketika aturan dikembalikan ke satu tahun, para pelaku usaha khawatir RKAB tahun berikutnya tidak sesuai dengan rencana awal.
“Terdapat kekhawatiran tahun selanjutnya, kami tidak akan mendapat persetujuan sesuai rencana awal,” ujar Jerome.
Selain perubahan RKAB, Jerome juga menyoroti tantangan lain, seperti peningkatan royalti tambang minerba dan fenomena overexpansion industri nikel di Indonesia. Ia menilai, kenaikan tarif royalti merupakan kebijakan baik untuk menambah penerimaan negara, namun diterapkan pada waktu yang tidak tepat.
“Peningkatan tarif diberlakukan ketika industri sedang terpuruk,” katanya.
Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) meminta perusahaan tambang mengajukan RKAB baru pada Oktober 2025. Permintaan tersebut menyusul persetujuan antara Menteri ESDM Bahlil Lahadalia dengan Komisi XII DPR mengenai perubahan sistem RKAB dari tiga tahun sekali menjadi setahun sekali.
Selain itu, Presiden Prabowo Subianto telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2025 tentang penyesuaian jenis dan tarif penerimaan negara bukan pajak (PNBP) di sektor minerba, yang akan berlaku mulai 26 April 2026.
Dalam implementasinya, penyesuaian tarif royalti menuai protes dari kalangan pengusaha, khususnya pelaku usaha nikel. Sebab, dalam aturan terbaru terdapat peningkatan signifikan. Misalnya, untuk komoditas bijih nikel, tarif yang sebelumnya tunggal sebesar 10 persen per ton dari harga (PP Nomor 26 Tahun 2022), kini menjadi multitarif dengan rentang 14–19 persen dari harga mineral acuan (HMA) sesuai PP Nomor 19 Tahun 2025.