Selasa 04 Feb 2020 17:17 WIB

Data BPS: Produksi Beras 2019 Turun Akibat Cuaca Ekstrem

Total produksi beras tahun 2019 tercatat sebesar 31,31 juta ton, menurun 7,75 persen.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Friska Yolanda
Petani memupuk padi di area persawahan Desa Bokoharjo, Prambanan, Sleman, DI Yogyakarta, Ahad (26/1/2020). Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan terdapat penurunan produksi beras sepanjang tahun 2019 terhadap realisasi produksi 2018.
Foto: Antara/Hendra Nurdiyansyah
Petani memupuk padi di area persawahan Desa Bokoharjo, Prambanan, Sleman, DI Yogyakarta, Ahad (26/1/2020). Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan terdapat penurunan produksi beras sepanjang tahun 2019 terhadap realisasi produksi 2018.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan terdapat penurunan produksi beras sepanjang tahun 2019 terhadap realisasi produksi 2018. Total produksi beras tahun lalu tercatat sebesar 31,31 juta ton, menurun 7,75 persen dibanding capaian produksi 2018 sebanyak 33,94 juta ton.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Suhariyanto menyatakan, produksi tahun lalu secara keseluruhan memang lebih rendah dibandingkan 2018. "Tahun 2019 memang kurang menguntungkan karena cuaca ekstrem (kemarau) dan juga sempat terjadi banjir sawah di berbagai daerah," kata Suhariyanto dalam Rilis Data Beras 2019 di Kementerian Pertanian, Selasa (4/2).

Ia menjelaskan, penurunan produksi beras sejalan dengan produksi gabah kering giling (GKG) sebelum diolah menjadi beras. Produksi GKG sepanjang 2019 tercatat 54,6 juta ton, lebih rendah 7,76 persen dibanding tahun sebelumnya 59,2 juta ton.

Dilihat dari segi wilayah, tiga provinsi terbesar penyuplai beras yakni Jawa Tengah 9,65 juta ton, Jawa Timur 9,58 juta ton, Jawa Barat 9,08 juta ton, 9,08 juta ton. Suhariyanto menjelaskan, penurunan produksi gabah secara konsisten terjadi mulai Agustus 2019.

Sejalan dengan penurunan produksi gabah, harga gabah di tingkat petani juga terus mengalami kenaikan. Harga tertinggi gabah terjadi pada bulan Desember, yakni Rp 5.775 per kilogram.

Adapun, untuk luasan panen yang dicapai selama 2019 juga hanya 10,68 juta hektare. Luas panen itu menyusut 6,15 persen dari luas panen 2018 sebanyak 11,38 juta hektare. Pihaknya berharap kondisi cuaca tahun 2020 lebih mendukung kegiatan produksi beras di setiap sentra.

"Kita harus lebih perhatikan pergerakan produksi di setiap daerah, apakah surplus atau defisit. Kelancaran distribusi akan menjadi kunci dan harus diperhatikan," kata Syahrul.

Ia menjelaskan, data yang dihimpun oleh BPS sudah melalui tahap panjang sesuai mekanisme Kerangka Sampel Area (KSA) yang objektif dan mengoptimalkan fungsi teknologi. Secara garis besar, volume produksi gabah diperoleh dari perkalian antara luas panen dan produktivitias. Produksi gabah kemudian dikonversi menjadi beras.

Adapun tahapan penghitungan data yakni dimulai dari menentukan peta lahan baku sawah dan diintegrasikan dengan peta geografi sesuai wilayah administrasi setiap daerah. Hasil dari penentuan itu diambil sampel dengan segmen ukuran 300x300 meter persegi.

Selanjutnya BPS menerjunkan petugas ke lapangan untuk melakukan pemotretan area sawah. Namun, pengambilan gambar hanya boleh dilakukan dalam jarak radius 10 meter. "Setiap bulannya petugas harus mendatangi 218 ribu titik dan fotonya dikirim ke server," katanya.

Dari foto-foto yang diambil itu, dapat diketahui apakah tanaman padi dalam fase vegetasi awal, vegetasi akhir, hingga panen. "Atau sedang terjadi alih fungsi lahan. Jadi setiap segmen kita ikuti dari waktu ke waktu sehingga diketahui perubahannya setiap bulan," ujarnya.

Pada tahun 2020 ini, pemerintah melakukan pembaruan data luas lahan baku sawah. Di mana, pada tahun sebelumnya luas lahan baku sawah sebesar 7.105.145 hektare dan menjadi basis penghitungan BPS. Tahun ini, data yang berlaku yakni sebesar 7.463.948 hektare dan akan menjadi landasan BPS untuk melakukan penghitungan luas panen, produksi gabah, dan volume beras.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement