REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Ketua Bank Sentral Amerika Serikat, Federal Reserve (Fed), Jerome Powell mengatakan pada Rabu (18/9) bahwa lembaganya tidak akan menggunakan suku bunga negatif sebagai alat untuk merangsang ekonomi di masa depan. Kebijakan ini pernah diterapkan selama krisis keuangan 2008.
"Suku bunga negatif adalah sesuatu yang kita lihat selama krisis keuangan dan memilih untuk tidak melakukannya," ujar Powell kepada wartawan pada konferensi pers setelah mengakhiri pertemuan kebijakan dua hari pada Rabu (18/9) sore.
"Setelah kami mencapai batas bawah yang efektif, kami memilih untuk melakukan banyak bimbingan ke depan yang agresif dan juga pembelian aset skala besar dan itu adalah dua alat kebijakan moneter yang tidak konvensional yang kami gunakan secara luas," kata Powell, mencatat bahwa alat seperti itu bekerja cukup baik.
"Saya tidak berpikir kita akan melihat menggunakan tarif negatif. Saya hanya tidak berpikir itu akan menjadi daftar teratas kami," kata Powell menabahkan.
Namun, pernyataan Powell kontras dengan beberapa bankir sentral lainnya seperti Presiden Bank Sentral Eropa (ECB) Mario Draghi, yang telah menggambarkan langkah-langkah pelonggaran ECB baru-baru ini, termasuk penerapan kebijakan suku bunga negatif untuk jangka pendek maupun jangka panjang.
Presiden Bank Dunia David Malpass pada Selasa (17/9) menyatakan keprihatinannya tentang obligasi berimbal hasil rendah dan modal beku. Bank Dunia mencatat bahwa lebih dari 15 triliun dolar AS obligasi memiliki imbal hasil nol atau negatif.
"Implikasinya adalah pertumbuhan, terutama di negara-negara berkembang, akan tetap rendah, karena persediaan modal saat ini memburuk dan habis," kata Malpass.
The Fed AS pada Rabu (18/9) kembali menurunkan suku bunga sebesar 25 basis poin di tengah meningkatnya risiko dan ketidakpastian yang berasal dari ketegangan perdagangan dan perlambatan ekonomi global. Kebijakan penurunan suku bunga tersebut menyusul penurunan suku bunga pada Juli lalu yang merupakan yang pertama dalam lebih dari satu dekade.